Tahun baru sering kali dimaknai sebagai lembaran baru yang penuh harapan. Lebih dari sekadar merayakan perubahan angka kalender, momen ini seharusnya menjadi saat refleksi yang mendalam.Â
Apa arti hidup kita selama ini, dan bagaimana kita dapat hidup lebih baik di hadapan Allah?
Dalam renungan ibadah tahun baru di Gereja GPIAI Efata Salatiga, Pdt. Yulia Santosa mengajak jemaat untuk memaknai kasih Allah sebagai landasan hidup.Â
Refleksi ini penting, bukan sekadar untuk mengingat pencapaian atau kegagalan, tetapi untuk melihat bagaimana Allah terus bekerja dalam setiap aspek kehidupan, termasuk melalui penderitaan.
Penderitaan sering kali menjadi batu sandungan bagi iman. Namun, dalam perspektif ilahi, penderitaan justru dapat menjadi alat Tuhan untuk membentuk hikmat.Â
Yakobus 1:2-3 menegaskan bahwa pencobaan menghasilkan ketekunan, dan ketekunan membawa kedewasaan iman.Â
Hal ini tercermin dalam kesaksian Bapak Eko, seorang jemaat yang menghadapi penyakit ginjal selama pandemi.Â
Dengan kadar hemoglobin yang anjlok hingga 7, ia tetap berpegang pada iman dan akhirnya mengalami mukjizat pemulihan hingga kadar hemoglobinnya naik menjadi 11.
Tidak hanya itu, kesaksian Ibu Lidya, seorang penyintas kanker payudara, semakin memperlihatkan bagaimana kasih dan kuasa Allah bekerja dalam penderitaan.Â
Ibu Lidya telah melewati proses pengobatan yang panjang dan berat, termasuk operasi dan kemoterapi, namun ia bersaksi bahwa Tuhan menopangnya setiap saat.Â
Hari ini, ia bukan hanya seorang penyintas, tetapi juga seorang pelayan di persekutuan doa khusus untuk para penyintas kanker.Â