Pemimpin adalah figur yang memiliki peran penting dalam setiap organisasi, termasuk gereja.Â
Ada kalanya kita menemukan pemimpin yang menganggap dirinya sangat penting dan merasa berhak untuk menguasai semua lini pelayanan gereja, baik gereja lokal maupun sinodal.Â
Tipe pemimpin seperti ini sering kali terjebak dalam pandangan bahwa tanpa dirinya, gereja tidak bisa berfungsi atau berkembang.
Kurang Memahami Esensi Pelayanan
Mereka mungkin merasa bahwa hanya dengan kendali penuh atas semua aspek pelayanan, gereja bisa berjalan sesuai dengan visi yang mereka anggap benar.
Pemimpin yang seperti ini sering kali kurang memahami esensi pelayanan itu sendiri.Â
Pelayanan dalam gereja bukanlah tentang kekuasaan atau dominasi, tetapi tentang kerendahan hati dan keinginan untuk melayani sesama.Â
Kursi Kehormatan
Ada juga pemimpin yang memiliki kecenderungan untuk duduk di tempat terhormat, karena mereka menganggap bahwa posisi tersebut adalah simbol dari otoritas dan pengakuan.Â
Mereka merasa bahwa jika mereka tidak mendapatkan posisi tinggi, mereka akan kehilangan martabat atau pengaruh dalam gereja.
Penyebab dari sikap ini bisa beragam, salah satunya adalah ego yang tidak terkendali.Â
Pemimpin yang terlalu mendewakan jabatan dan status seringkali mengabaikan prinsip-prinsip kerendahan hati yang seharusnya menjadi landasan pelayanan gereja.Â
Kerendahan Hati seorang Pelayan
Kerendahan hati adalah nilai dasar dalam kehidupan Kristen yang seharusnya diteladani oleh setiap pemimpin gereja.Â
Dalam Alkitab, kita diajarkan bahwa "siapa yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayan" (Markus 10:43). Pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan pelayanan di atas ambisi pribadi.
Sikap rendah hati bukan berarti pemimpin tidak boleh memiliki visi besar untuk gereja.Â
Sikap rendah hati mengajarkan untuk menghargai pendapat orang lain, memberi ruang bagi tim untuk berkembang, dan menyadari bahwa gereja bukanlah milik pribadi, melainkan milik Tuhan.Â
Mengejar Posisi TerhormatÂ
Ketika pemimpin terlalu ingin menduduki posisi terhormat atau merasa dirinya satu-satunya yang dapat mengatur segalanya, mereka mulai kehilangan esensi dari pelayanan itu sendiri.
Terkadang, keinginan untuk mendapatkan jabatan dan pengakuan di gereja membuat pemimpin lupa pada tatanan yang telah ada.Â
Mereka lebih mengutamakan pencapaian pribadi dibandingkan dengan keberlanjutan pelayanan gereja.Â
Padahal, jabatan dalam gereja bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk lebih efektif dalam melayani jemaat dan memuliakan Tuhan.Â
Menginginkan jabatan untuk tujuan pribadi seringkali menyebabkan ketegangan dan ketidakharmonisan dalam tubuh gereja.Â
Mencari Pengakuan Pribadi
Pemimpin yang terlalu fokus pada pengakuan pribadi sering kali mengabaikan tatanan yang telah ditetapkan, yang seharusnya menjadi pedoman bersama dalam setiap kegiatan gereja.
Selain itu, dalam beberapa kasus, AD ART gereja yang disusun bisa mengalami perubahan sesuai dengan selera penguasa.Â
Pemimpin yang terlalu berkuasa seringkali mencoba menyesuaikan aturan dan struktur gereja agar sesuai dengan kepentingan pribadi mereka, yang pada akhirnya merusak fondasi gereja itu sendiri.Â
Padahal, AD ART seharusnya menjadi landasan yang jelas dan adil bagi seluruh anggota gereja, bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Penyimpangan dalam penyusunan AD ART ini sering kali terjadi ketika pemimpin merasa bahwa mereka memiliki kekuasaan absolut dan tidak menghiraukan masukan dari pihak lain.Â
Hal ini dapat menciptakan ketimpangan dalam sistem gereja dan merusak prinsip-prinsip persekutuan dan keterbukaan.Â
Pemimpin yang Rendah hati bukan Ambisius
Mengabaikan tatanan ini dapat menimbulkan ketidakadilan, di mana keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip kekristenan yang sejati.Â
Hal ini akan menciptakan ketegangan dalam hubungan antar anggota gereja dan dapat merusak suasana kekeluargaan yang seharusnya ada dalam tubuh Kristus.
Seharusnya, gereja sebagai tubuh Kristus memerlukan pemimpin yang rendah hati, yang lebih mementingkan pelayanan daripada jabatan.Â
Pemimpin seperti ini tidak akan terjebak dalam ambisi pribadi, melainkan akan berfokus pada visi gereja yang lebih besar.Â
Memberdayakan orang lain
Dalam menjalankan pelayanan, pemimpin yang rendah hati akan selalu mencari cara untuk memberdayakan orang lain dan memberikan ruang bagi orang lain untuk berkembang.
Dalam konteks ini, penting bagi gereja untuk memiliki mekanisme yang transparan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan AD ART.Â
Semua anggota gereja, tidak hanya pemimpin, harus dilibatkan dalam proses ini, agar gereja dapat berjalan dengan prinsip-prinsip yang benar dan adil.Â
Perlunya Gereja yang Sehat
Gereja akan menjadi tempat yang sehat, harmonis, dan berorientasi pada pelayanan, bukan pada kekuasaan atau status.
Pemimpin yang sejati adalah mereka yang tidak memandang jabatan sebagai sesuatu yang harus dikuasai, melainkan sebagai tanggung jawab untuk melayani dengan sepenuh hati.Â
Gereja yang dipimpin oleh individu-individu yang rendah hati akan tumbuh menjadi gereja yang tidak hanya kuat dalam pelayanan, tetapi juga dalam kesatuanÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI