UN) di Indonesia telah lama menjadi bahan perdebatan dalam dunia pendidikan. Sejak penghapusannya pada tahun 2020, muncul berbagai pertanyaan mengenai dampak perubahan tersebut terhadap kualitas pendidikan di tanah air.Â
Ujian Nasional (Apakah penghapusan UN membuat pendidikan menjadi lebih baik, atau justru menciptakan masalah baru?
Merdeka Belajar dan Penghapusan UN
Pada akhir tahun 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengusulkan penghapusan UN sebagai bagian dari transformasi pendidikan melalui kebijakan "Merdeka Belajar".Â
Ia menjelaskan bahwa UN selama ini lebih menekankan pada kemampuan hafalan dan memberikan tekanan yang besar pada siswa. Sebagai pengganti UN, Nadiem mengusulkan dua instrumen baru, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, yang lebih berfokus pada literasi, numerasi, dan pengembangan karakter siswa.
Menteri Nadiem menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan mempersiapkan siswa menghadapi tantangan dunia nyata.Â
Dengan AKM, diharapkan siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, yang tidak hanya dilihat dari kemampuan mengerjakan soal pilihan ganda, tetapi juga dari kemampuan mereka dalam memahami dan menyelesaikan masalah yang lebih kompleks.Â
Selain itu, dengan penghapusan UN, sekolah bisa lebih fokus pada proses pembelajaran yang menyeluruh, tanpa terjebak dalam persiapan ujian.
Meskipun usulan ini mendapat sambutan positif, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah kesiapan guru dalam menyusun asesmen berbasis kompetensi dan kesenjangan infrastruktur antara sekolah di perkotaan dan daerah terpencil.Â
Kritik Pelaksanaan UN
Bagi pendukung UN, ujian ini dianggap sebagai alat yang efektif untuk mengukur standar pendidikan di seluruh Indonesia. Tanpa adanya UN, sulit untuk memiliki tolok ukur yang seragam dalam mengevaluasi kualitas pendidikan di berbagai daerah.Â
Selain itu, UN juga diyakini dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan lebih giat, karena hasil UN sering kali menjadi patokan kelulusan dan syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kritik terhadap pelaksanaan UN cukup banyak. Banyak pihak yang berpendapat bahwa UN tidak mencerminkan kemampuan siswa secara holistik.Â
Ujian berbasis pilihan ganda dianggap hanya mengukur kemampuan kognitif siswa secara terbatas, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain seperti kreativitas, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan bekerja dalam tim.Â
Selain itu, tekanan psikologis yang besar menjadikan UN dianggap tidak adil, terutama bagi siswa yang merasa tertekan dengan format ujian yang seragam.
Sejak penghapusan UN pada tahun 2020, asesmen nasional menggantikan peran UN dengan fokus pada literasi, numerasi, dan karakter.Â
Asesmen Nasional
Dengan adanya asesmen nasional, sekolah memiliki lebih banyak kebebasan untuk menentukan metode evaluasi yang sesuai dengan kebutuhan lokal.Â
Tantangan yang muncul adalah bagaimana menjaga kualitas dan konsistensi evaluasi di setiap sekolah. Kekhawatiran tentang kesenjangan standar penilaian antar daerah, terutama di wilayah dengan sumber daya terbatas, juga menjadi masalah yang perlu diperhatikan.
Asesmen nasional bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kemampuan siswa, tidak hanya mengukur kemampuan akademis tetapi juga keterampilan berpikir kritis.Â
Asesmen ini diharapkan lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja yang mengutamakan keterampilan analitis dan problem-solving.
Perubahan sistem evaluasi ini juga menuntut peningkatan kompetensi guru dalam menyusun penilaian yang mencerminkan kemampuan siswa secara lebih holistik.Â
Guru harus lebih kreatif dalam mengajar dan menggunakan berbagai metode penilaian untuk mengukur berbagai aspek kemampuan siswa. Pelatihan untuk guru menjadi kunci agar mereka bisa melaksanakan asesmen dengan objektif dan akurat.
Kesenjangan Pendidikan
Kekhawatiran terhadap kesenjangan pendidikan antar daerah menjadi salah satu isu penting setelah penghapusan UN. Sebelum dihapus, UN berfungsi sebagai standar nasional yang memaksa sekolah-sekolah untuk memenuhi kualitas pendidikan tertentu.Â
Tanpa UN, variasi standar penilaian antar daerah berisiko semakin besar, terutama di wilayah yang memiliki sumber daya terbatas untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Baik dengan atau tanpa UN, yang paling penting dalam pendidikan adalah bagaimana evaluasi dilakukan dan bagaimana kebijakan pendidikan diterapkan.Â
Ujian Nasional memiliki kelebihan sebagai alat ukur seragam, namun penghapusannya memberikan peluang untuk penilaian yang lebih holistik dan berbasis kompetensi.Â
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menciptakan sistem evaluasi yang adil, objektif, dan mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia.
Pentingnya Pengembangan Ketrampilan Siswa
Penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih inklusif, di mana fokus bergeser dari mengejar nilai tinggi menuju pengembangan keterampilan yang lebih mendasar.Â
Guru memiliki kesempatan untuk lebih kreatif dalam mengajar, mendorong siswa untuk berpikir kritis dan out-of-the-box, serta meningkatkan rasa percaya diri mereka.Â
Kebijakan penghapusan UN dan penerapan asesmen berbasis kompetensi, jika diimplementasikan dengan baik, memiliki potensi untuk merevolusi pendidikan di Indonesia.Â
Kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan guru, infrastruktur pendidikan, serta komitmen pemerintah dalam mengurangi kesenjangan antar daerah dan memastikan evaluasi yang lebih adil dan efektif.
Arah Kebijakan Baru tentang UN
Selain itu, Prof. Mu'ti juga meminta pandangan dari media massa untuk memberikan evaluasi terkait pelaksanaan UN. "Nanti wartawan juga bisa kita undang untuk ikut memberikan evaluasi tentang UN," ujarnya.Â
Prof. Mu'ti membenarkan bahwa UN adalah isu yang banyak beredar dan menyita perhatian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Prof. Mu'ti akan memberikan keputusan terkait pelaksanaan UN usai mendengar pendapat dari banyak pihak.Â
"Ini memang juga menjadi isu yang cukup mengemuka dan sekali lagi sebulan ini kami ingin menjadi pendengar yang baik sebelum mengambil keputusan," ucap Prof. Mu'ti.
Sebelumnya diberitakan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menolak UN diterapkan kembali. Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, mengungkapkan alasan penolakan mereka terhadap rencana pengembalian UN.Â
Heru menyatakan, UN sering kali menyebabkan stres pada peserta didik karena menjadi penentu nasib kelulusan. Kondisi ini menjadi dasar penolakan terhadap rencana penerapan kembali UN, dengan alasan bahwa UN tidak dapat menjadi rujukan evaluasi pendidikan yang efektif, bahkan menjadi alat seleksi yang bisa menimbulkan dampak negatif dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).Â
Heru menambahkan, berdasarkan pengalaman mereka sebagai guru, ketika UN menjadi penentu kelulusan, muncul kecurangan yang bertujuan demi memperoleh kelulusan. Hal ini menjadi salah satu poin penolakan terhadap kebijakan UN.
UN Bukan satu-satunya Alat ukur Kualitas Pendidikan
Meskipun ada berbagai pendapat tentang pentingnya Ujian Nasional, yang harus dipahami adalah bahwa ujian semacam ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kualitas pendidikan.Â
Penerapan asesmen berbasis kompetensi seperti AKM lebih memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.Â
Pendidikan harus fokus pada pembelajaran yang menumbuhkan karakter dan keterampilan yang relevan dengan tantangan di dunia nyata, bukan hanya sekadar mengandalkan tes standar yang lebih menitikberatkan pada hafalan dan pengujian tekanan.Â
Perlunya Kebijakan yang Jelas
Di sisi lain, kita juga memahami kekhawatiran beberapa pihak yang merasa bahwa tanpa adanya UN, ada kemungkinan standar pendidikan di daerah-daerah terpencil akan semakin timpang.Â
Tanpa adanya tolok ukur yang jelas, mungkin ada kesenjangan kualitas pendidikan yang semakin besar antara sekolah-sekolah di kota besar dan daerah yang kekurangan fasilitas.Â
Pemerintah harus berkomitmen untuk mendukung guru dengan pelatihan yang tepat dan memfasilitasi sekolah-sekolah di daerah terpencil dengan sumber daya yang memadai, sehingga sistem evaluasi berbasis kompetensi bisa berjalan secara efektif dan merata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H