Dalam putusan ini, MK juga membagi pertimbangan hukum dalam enam klaster, yaitu penggunaan tenaga kerja asing, PKWT, outsourcing, upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta uang pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan masa kerja.Â
Dengan menguraikan setiap klaster tersebut, MK menunjukkan bahwa ada banyak elemen dalam UU Cipta Kerja yang harus dievaluasi ulang agar lebih berpihak kepada kepentingan pekerja.Â
Setiap klaster tersebut mencerminkan isu-isu ketenagakerjaan yang selama ini menjadi perdebatan di masyarakat, khususnya di kalangan pekerja.
Meski putusan ini memberikan angin segar bagi pekerja, tantangan besar masih ada di depan. Implementasi putusan ini memerlukan keseriusan dan komitmen tinggi dari pemerintah dan legislatif untuk merevisi undang-undang yang terkait.Â
Tanpa langkah konkret dalam mengimplementasikan putusan MK ini, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam ketenagakerjaan dapat terus berlanjut.Â
Oleh karena itu, monitoring terhadap pelaksanaan putusan ini menjadi krusial untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja benar-benar terlindungi.
Implikasi jangka panjang dari putusan ini adalah potensi terbentuknya sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan seimbang di Indonesia.Â
Pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja tidak hanya akan menciptakan norma hukum yang lebih konsisten, tetapi juga akan memperkuat perlindungan hak-hak pekerja dalam jangka panjang.Â
Tata kelola ketenagakerjaan yang lebih transparan dan akuntabel dapat terwujud, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas hidup para pekerja.
Putusan MK ini menandai babak baru dalam penataan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.
Ini menunjukkan bahwa suara pekerja melalui serikat dan organisasi lainnya masih dapat didengar dan diperjuangkan melalui jalur hukum.Â