Pada tahun 1980-an, kehidupan di pedesaan Gunungkidul penuh dengan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian. Setiap hari, penduduk desa bergantung pada hasil ladang mereka untuk bertahan hidup.Â
Mereka menunggu dengan sabar hujan yang datang setiap tahun dari November hingga Mei. Hujan ini sangat penting untuk menyuburkan ladang kami.Â
Padi yang tumbuh adalah hasil kerja keras seluruh masyarakat, yang terlibat dalam proses panen dengan semangat kebersamaan.Â
Musim Panen
Saat musim panen tiba, padi gogo, yang ditanam bersama kedelai, kacang tanah, atau jagung, dipetik menggunakan ani-ani. Proses ini dilakukan secara gotong royong, di mana beberapa orang bekerja sama, atau sambatan.
Hal ini bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan sosial yang mempererat hubungan antarwarga.Â
Kami melakukannya bersama-sama dalam sebuah kegiatan yang disebut sambatan, yaitu bekerja secara sukarela tanpa imbalan uang, sebagai bentuk kerjasama dan persaudaraan.
Dengan menggunakan alat tradisional dan tenaga manusia, proses panen menjadi menjadi cerminan dari ketergantungan mereka pada alam dan semangat gotong royong.
Menyimpan Padi di Lumbung
Setelah panen, padi yang sudah dikumpulkan dibawa pulang, biasanya dipikul oleh bapak-bapak atau anak laki-laki menggunakan keranjang bambu yang disebut tomblok. sementara ibu-ibu menggendong keranjang bambu yang disebut tenggok.Â
Padi-padi ini kemudian dijemur setiap hari hingga kering. Setelah kering, padi disimpan di lumbung padi, tempat penyimpanan penting di rumah-rumah pedesaan.Â
Lumbung ini dapat menampung padi dalam jumlah besar dan memastikan pasokan makanan selama musim kemarau yang panjang.Â