Beberapa orang mungkin tidak menyadari dampak sikap mereka terhadap orang lain atau menganggap kerendahan hati sebagai kelemahan, bukan sebagai kekuatan.
Kebutuhan untuk menguasai dan menunjukkan superioritas, yang sering kali muncul dari rasa tidak aman atau ketidakpuasan pribadi, dapat menghalangi seseorang untuk merendahkan diri.Â
Selain itu, tekanan dari lingkungan sosial dan budaya yang mengutamakan prestasi dan kesuksesan pribadi dapat mendorong individu untuk menonjolkan kelebihan mereka, sehingga sulit untuk bersikap rendah hati.Â
Dalam Alkitab, kerendahan hati dinyatakan sebagai sifat yang dikehendaki oleh Tuhan. Dimana seseorang menunjukkan kesediaan untuk mengakui ketergantungan kepada-Nya.
Karakter dari orang percaya yang memiliki sikap rendah hati, berdasarkan Ayat Alkitab, adalah:
Ketergantungan kepada Allah
Dalam Mazmur 25:9, frasa "orang-orang yang rendah hati" dalam bahasa Ibrani adalah "anavim. Kata "anav" secara harfiah berarti "rendah hati" atau "lemah lembut."Â
Orang yang rendah hati ditandai kesediaan untuk tunduk kepada Tuhan, sering kali dikaitkan dengan sikap pengakuan akan ketergantungan total kepada Tuhan dan penyerahan diri dalam pengertian rohani.
Dalam Bilangan 12:3, Musa adalah orang yang rendah hati. Kata "anav" yang berarti "rendah hati" atau "lemah lembut". Dalam bahasa Latin, istilah ini diterjemahkan sebagai "humilis" yang juga berarti "rendah hati" atau "modestus."
Tidak Mencari Keuntungan Pribadi
Dalam bahasa Yunani, frasa "mencari keuntungan" dalam Filipi 2:3-4 dapat diterjemahkan sebagai "eritheia" yang berarti ambisi egois atau persaingan. Sedangkan dalam bahasa Latin, istilah yang terkait adalah "ambitio," yang juga mengacu pada hasrat untuk keuntungan pribadi atau kekuasaan.
Jadi, Filipi 2:3-4, memberikan beberapa pesan kepada kita demikian: "Orang yang rendah hati agar lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi mereka."
Ayat ini juga menegaskan 'Janganlah dengan maksud yang salah mencari keuntungan pribadi.' Â tetapi dengan kerendahan hati anggaplah orang lain lebih utama dari pada dirimu sendiri."
Hidup Sebagai Anugerah
Menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan capai adalah karena anugerah Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam Yakobus 4:6 dan 1 Petrus 5:5, membantu membentuk sikap rendah hati.Â
Dalam bahasa Yunani, kata untuk "anugerah" adalah "cháris", yang berarti kemurahan hati atau pemberian tanpa syarat, sementara dalam bahasa Latin, istilah tersebut adalah "gratia".
Jadi setiap pencapaian dan berkat yang kita nikmati adalah hasil dari kemurahan Tuhan, bukan semata-mata hasil usaha kita sendiri. Maka itulah yang mendorong kita untuk bersikap rendah hati dan bersyukur.
Kepatuhan Kepada Tuhan
Dalam Mikha 6:8, mengajarkan kita untuk menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendak sendiri dan untuk taat kepada-Nya. Dalam bahasa Ibrani, kata untuk "taat" adalah "shama", yang melambangkan mendengarkan dan patuh kepada perintah Tuhan.Â
Dalam bahasa Latin, konsep ini dinyatakan dengan kata "oboedientia", yang mengacu pada ketaatan yang sungguh-sungguh dan patuh terhadap kehendak Tuhan. Pemahaman ini mengajarkan pentingnya mengikuti dan menghormati kehendak Tuhan.Â
Abraham adalah contoh orang beriman yang taat yang luar biasa ketika ia siap untuk mempersembahkan anaknya, Ishak, sesuai dengan perintah Tuhan (Kejadian 22:1-19). Meskipun ini adalah ujian berat, Abraham memperlihatkan ketaatan dan kepercayaan yang besar kepada Allah.
SimpulanÂ
Sikap rendah hati ini tidak hanya menuntun kita untuk lebih dekat dengan Tuhan tetapi juga untuk memperlakukan sesama dengan penuh kasih dan pengertian.Â
Dengan menghindari kesombongan dan egoisme, kerendahan hati membantu kita untuk lebih baik mengikuti kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari.Â
Melalui kerendahan hati, kita dapat hidup dalam ketaatan dan penerimaan yang membawa berkat bagi diri sendiri dan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H