Sore itu, saya menunggu anak saya yang sedang memangkas rambut di ruko Pandawa, Salatiga. Saya memanfaatkan waktu tersebut untuk mengobrol ringan dengan Pak Diyono. Pak Diyono adalah seorang tukang becak. Ia sudah berusia 79 tahun.
Jam menunjukkan pukul 5 sore ketika saya duduk dengan Pak Diyono di sudut pos ronda samping sebuah gedung koperasi. Rupanya, beliau sedang menunggu pegawai koperasi keluar, sambil menunggu waktu untuk menutup pintu pagar koperasi tersebut. Beliau rutin membantu menutup pintu pagar di tempat itu.
"Dhereng wangsul, Pak?" sapa saya. "Dhereng taksih ngentosi," jawab Pak Diyono. ("Belum pulang, Pak?" sapa saya. "Belum, masih menunggu," jawab Pak Diyono).
Dalam obrolan sore itu, Pak Diyono menceritakan bahwa ia telah lama menjadi tukang becak setelah sebelumnya bekerja sebagai sopir truk. Di pangkalan truk, ia sering berinteraksi dengan tukang becak yang nongkrong di sana.
Dari situ dia mulai tertarik mengayuh becak. Sehingga Pak Diyono berganti pekerjaan dari sopir truk ke tukang becak. Perubahan ini merupakan bagian dari perjalanan hidupnya sejak puluhan tahun yang lalu.
KesendirianÂ
Dia menceritakan bahwa dia sudah cukup tua, namun masih mengayuh becak untuk mengatasi rasa kesepian di rumah. "Kagem olahraga, Mas, kersane sehat," pungkasnya. Dia merasa aktivitas ini juga membantu menjaga kesehatannya.
Beberapa bulan yang lalu, istrinya meninggal dunia, meninggalkan rasa sedih yang mendalam di hatinya. Hingga saat ini, kesedihan itu masih terasa.Â
Dia bercerita, istrinya saat itu sudah pamit dan meminta agar dia menjaga anak-anak. Sebenarnya, tidak ada penyakit yang menyebabkan kematian itu, cerita Pak Diyono.
Dia juga menceritakan bahwa istrinya dulu berjualan nasi dan sayur. Dia mengakui betapa istrinya orang yang sabar, dan sangat mencintainya.
Pak Diyono memiliki enam anak, empat di antaranya sudah berkeluarga. Dia juga dikaruniai tujuh cucu dan empat cicit. Keluarganya yang besar memberikan banyak kebahagiaan dalam hidupnya.