Mohon tunggu...
Obed Bima Wicandra
Obed Bima Wicandra Mohon Tunggu... Dosen - Pencinta klub Liverpool dan Persebaya

Senang mengoleksi dan membaca buku. Budaya visual, budaya sepak bola, dan estetika adalah wilayah yang banyak ditulisnya. Silakan mampir ke https://rumahresensibukuku.wordpress.com/ untuk membaca resensi atas buku yang telah dibacanya.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Pelabelan dan Kebencian yang Absurd (Tanggapan terhadap Ruang Berbagi)

3 Mei 2021   15:40 Diperbarui: 3 Mei 2021   15:53 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Undang-Undang Nuremberg (1935) yang disahkan dan ditetapkan oleh Nazi Jerman adalah dasar untuk melakukan pembasmian pada kaum Yahudi secara sistematis di Jerman. Undang-undang ini didasarkan pada sikap antisemitisme rasial dan bukan pada hubungan keagamaan. Meskipun antisemitisme adalah sikap permusuhan maupun membangun prasangka terhadap Yahudi dalam bentuk tindakan kekerasan berdasarkan agama. Namun Antisemitisme juga merupakan sikap permusuhan dan mengujar kebencian berdasarkan etnis maupun kelompok ras, juga terhadap individu maupun lembaga.

Beberapa pendapat menyebutkan mengenai alasan kenapa Yahudi yang dibenci Nazi. Alasan pertama mengenai keterlibatan Yahudi dalam Revolusi Rusia yang dipimpin oleh Lenin. Hitler beranggapan, bahwa kaum Yahudi yang dekat dengan Sovyet dalam revolusi tersebut mengakibatkan Jerman terpuruk secara ekonomi. Pendapat lain mengatakan, bahwa dominasi Yahudi di Jerman (termasuk kepemilikan bank, saham, surat kabar, dll) akibat banyaknya kaum Yahudi yang tinggal di Jerman. Perseteruan itu pada akhirnya tidak hanya karena konflik ekonomi, melainkan sosial, politik, dan budaya.

Yahudi yang saat itu telah bias batas antara Yahudi sebagai agama maupun Yahudi sebagai ikatan kultural komunitas, tetaplah dipandang sebagai ras “tertentu”; “liyan”. Undang-Undang Nuremberg pada akhirnya mencabut kewarganegaraan orang-orang Yahudi dan menghapus semua hak-hak dasar mereka. Artinya, undang-undang tersebut tidak mengenal proses emansipasi di mana kaum Yahudi juga berhak untuk menjadi anggota penuh masyarakat dan warga negara yang setara di Jerman. Dari situlah kemudian muncul oposisi biner: “Kamu Yahudi, saya Jerman.”

Tindakan fasis serupa juga terjadi di banyak belahan negara lain, bukan saja Jerman. Pada abad lebih modern, tentu kita ingat pada perang yang melibatkan Serbia dan Bosnia. Pada tahun 1995, pembantaian paling sadis terjadi pasca-Perang Dunia II. Hal ini merujuk pada pembasmian muslim Bosnia setelah Yugoslavia runtuh. Deklarasi kemerdekaan Bosnia tidak diakui oleh tentara Serbia dan Tentara Rakyat Yugoslavia. Alih-alih mengamankan teritori mereka, yang terjadi justru pembasmian orang-orang Bosnia yang mayoritasnya adalah muslim.

Namun rupanya proses pembasmian seperti halnya kasus genosida di banyak negara, tidaklah terjadi begitu saja. Semua terjadi secara sistemik. Kampanye kebencian secara verbal maupun dalam tindakan kekerasan sudah dilakukan jauh sebelumnya. Seperti yang terjadi di Bosnia, kampanye genosida sudah terjadi sejak 1992.

Labelisasi “Bonek

Dua peristiwa bersejarah di atas sengaja saya ungkit kembali untuk menanggapi artikel (saat artikel ini ditulis) berjudul “Memahami Aksi “Bonek” Suporter MU yang Gagalkan MU vs Liverpool” yang ditulis oleh Ruang Berbagi di platform Kompasiana (3 Mei 2021; 09.32). 

Catatan: kini artikel diubah judulnya menjadi "Memahami Aksi Protes Suporter MU yang Gagalkan MU vs Liverpool".

Artikel sebelum diubah oleh Ruang Berbagi.
Artikel sebelum diubah oleh Ruang Berbagi.

Ruang Berbagi menuliskan opini yang menarik terkait aksi suporter MU yang melakukan demonstrasi di Stadion Old Trafford tadi malam WIB. Akibatnya pertandingan yang ditunggu-tunggu antara MU vs Liverpool pun batal digelar. Aksi yang dilakukan suporter MU merujuk pada sikap pemilik saham klub, keluarga Glazer, yang dianggap mengeruk MU habis-habisan. Sikap Glazer dianggap merusak tradisi sepak bola yang dibangun oleh MU. Tulisan Ruang Berbagi juga merujuk pada sikap Glazer yang kontroversial dengan mengikutkan MU di European Super League (ESL) yang ditentang habis-habisan oleh seluruh fan. Meski kemudian MU memutuskan mundur dari ESL, namun kemarahan tetap tidak bisa dihindarkan.

Oke, itu adalah konteks yang dibangun oleh Ruang Berbagi dalam menulis opini di Kompasiana ini. Tulisan Ruang Berbagi kemudian menjadi semakin “menarik” saat menuliskan kalimat seperti ini: “Suporter MU yang selama ini dikenal cukup santun tetiba menjadi bonek di Old Trafford.”. Tulisan tersebut kemudian menjadi “liar” di komunitas Bonek, yang merupakan fan Persebaya Surabaya. Ruang Berbagi dianggap mengusik ketenangan Bonek yang tak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di Old Trafford sono. Tentu saja, jarak antara Surabaya dan kota Manchester di Inggris begitu jauh. Saya saja yang ingin ke Anfield, sampai umur segini juga belum pernah nangkring ke sana.

Mengaitkan Bonek dengan fan MU dalam tulisan ini merupakan metonimi dalam berbahasa. Nah, ijinkan saya mengulik sebentar dalam praktik berbahasa Indonesia. Metonimi ini adalah salah satu jenis majas perbandingan. Biasanya jenis ini dipakai untuk mengungkapkan suatu hal dengan memakai kata lain yang memiliki hubungan dekat. Penggunaan kata ini biasanya memakai kata label, merek, atau ciri dari suatu benda.

Mungkin dari kita pernah menggunakan kalimat seperti: “Tadi aku minum Aqua” atau: “Roti ini pasti tadi belinya di Indomaret, ya?”. Dua kalimat itu contoh dari metonimi. Membandingkan benda yang memiliki sifat yang sama. Asosiasi air putih yang dikemas biasanya menunjuk pada merek tertentu, begitu pula pada tempat berbelanja. Pengasosiasian inilah yang menjadi masalah dalam judul artikel Ruang Berbagi maupun di isi artikelnya.

Saya sebut bermasalah, karena Ruang Berbagi tidak secara tepat menggunakan pelabelan Bonek yang dibandingkan dengan perilaku suporter MU di Inggris sono. “Suporter MU yang selama ini dikenal cukup santun...” oleh Ruang Berbagi dioposisikan secara biner (berhadap-hadapan) dengan “...tetiba menjadi bonek”. Artinya: suporter MU santun, bonek brutal.

Sumber: kompas.com
Sumber: kompas.com

Jika saja Ruang Berbagi mau melepaskan pelabelan itu, tentu saja ia akan mengingat periode-periode penting Bonek yang tertulis di sejarah media massa adalah: (1) budaya awaydays pertama kali dalam sejarah sepak bola di Indonesia diawali oleh Bonek di tahun 1988. Ribuan Bonek berangkat ke Senayan. Media massa saat itu bahkan menuliskan kondisi Surabaya sepi karena banyak yang berangkat ke Jakarta saat final Piala Perserikatan itu, (2) Bonek bukan teritorial, tapi kultur. Artinya, Bonek bukan saja mereka yang ber-KTP Surabaya, melainkan dari kota mana saja yang mendukung Persebaya. Bukan saja kota, bahkan negara, karena kini ada Bonek Belanda yang dikoordinir oleh penduduk asli Belanda, (3) Bonek yang dilempari batu saat kereta api yang ditumpanginya melintas kota Solo dan Jogja. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari aksi Bonek sebelumnya yang melempari rumah warga di sepanjang perjalanan melalui kereta api, (4) Bonek yang melakukan demonstrasi besar-besaran melawan PSSI yang mematikan Persebaya 1927, (5) Bonek yang melakukan aksi lempar boneka sebagai wujud solidaritas fan sepak bola pada anak-anak penderita kanker, (6) Bonek yang menghimpun bantuan sosial untuk diserahkan kepada korban bencana alam, (7) Bonek yang mengamuk saat Persebaya kalah, (8) silakan diisi periode Bonek yang lain.

Pada tulisan Ruang Berbagi tersebut tidak secara spesifik disebutkan Bonek yang mana dalam periode itu yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dilakukan oleh suporter MU. Asumsi saya adalah Ruang Berbagi ini masih memiliki cara pandang pelabelan berdasarkan masa lalu yang mendekatkan Bonek dengan ciri kekerasan. Ikon yang dipakai oleh Ruang Berbagi, yaitu burung garuda seakan-akan mempeyorasi Indonesia yang fasis dengan menulis opini ini.

Labelisasi dan Wacana Kolonial

Dua cerita genosida di awal tulisan ini sebenarnya melandasi mengenai betapa berbahayanya jika kita masih menggunakan pelabelan untuk menyampaikan suatu pesan. Dalam konteks kemanusiaan, pelabelan seperti ini bersifat ahistoris, karena menganggap bahwa kebudayaan adalah statis. Jika kebudayaan bermakna hasil dari apa yang dipikirkan manusia, maka menjadi suporter sepak bola adalah sebuah kebudayaan; budaya untuk bermain atau budaya untuk mengisi waktu luang dengan mendukung klub kesayangan kita. Budaya yang sifatnya universal akhirnya malah tersekat-sekat dengan identitas: “ini aku, bukan kamu” atau dalam dua cerita genosida di atas: “Kamu Yahudi, aku bukan” atau “Kamu Bosnia, aku Serbia” untuk melegalkan upaya pembasmian.

Penulisan “Suporter MU yang dikenal cukup santun tetiba menjadi bonek” adalah pelabelan yang ujung-ujungnya menuai kebencian. Jika diurai maka kalimat tersebut seolah-olah berbunyi: “Jika kamu Bonek, maka kamu pasti brutal.” Hal inilah yang dalam beberapa waktu lamanya selalu menjadi label yang harus dipikul oleh Bonek meski upaya kebaikan juga selalu mereka lakukan. Isu kebencian dalam media sosial inilah yang dalam beberapa hari ini ditanggapi secara serius oleh klub-klub di Inggris dengan melakukan boikot media sosial, eh ternyata malah dilakukan di Kompasiana ini.

Ruang Berbagi seharusnya menyadari bahwa umat manusia (jika merujuk pada dua cerita genosida di atas) tidak bisa dikelompok-kelompokkan lagi berdasarkan hitungan “ras”, “etnis”, dan juga “peradaban” yang memiliki ciri statis, murni, dan mudah dikenali. Apakah Bonek brutal? Bonek dalam periodisasi yang mana? Jika memang framing dilakukan untuk mendekatkan perilaku brutal suporter sepak bola dengan Bonek secara terus menerus diproduksi ulang, maka tentu saja hal ini tidak sehat dalam alam kemanusiaan dunia suporter kita. Media yang masih mereproduksi wacana seperti ini masih terjebak pada wacana kolonial yang suka mengelompok-kelompokkan masyarakat berdasarkan apa yang jelas terlihat untuk mudah diatur oleh siapa yang berkuasa.

Dengan menyebutkan Bonek sebagai sosok yang tiba-tiba mengubah citra suporter MU sebagai sosok yang santun, maka Ruang Berbagi telah menjadikan Bonek sebagai kutukan, yang jika ada peristiwa kebrutalan selalu disangkut-pautkan dengan Bonek. Jika mau dibandingkan, maka fan Liverpool bisa sangat dekat dengan Bonek. Namun kenapa media di Inggris mulai mereduksi perilaku hooliganisme yang biasanya disangkutkan pada Kopites? Ya karena media telah menanggalkan upaya pelabelan sebagai hal yang paling gampang jika menuduh pada sesuatu. Hal ini berkaca pada Tragedi Hillsborough (1989) yang mewariskan sikap anti pada The Sun, media saat itu yang gencar melakukan pelabelan pada fan Liverpool.

Tragedi Hillsborough. (sumber: BBC.com)
Tragedi Hillsborough. (sumber: BBC.com)

Pelabelan ini sama halnya dengan wacana kolonial sebagai suatu usaha yang sistematis untuk menciptakan ilusi kepastian di tengah realitas hidup yang serba cair dan terus-menerus berubah. Pertanyaan saya kepada Ruang Berbagi adalah: Apakah Bonek tidak boleh berubah? ***

Catatan Akhir: Artikel ini saya tulis berdasarkan komentar saya di Ruang Berbagi. Oleh karena artikel rupanya sudah dikoreksi sendiri oleh Ruang Berbagi, maka pertanyaan akhir tidak perlu dijawab. Kiranya menjadi pengingat buat semua. 

Sumber Pustaka:

"Undang-Undang Nuremberg". https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/nuremberg-laws

Katrin Bandel. 2021. "Pemikiran Homi K. Bhabha: Sebuah Pengantar Singkat". Hand-out Kajian Pascakolonial. Universitas Sanata Dharma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun