Mohon tunggu...
Obed Bima Wicandra
Obed Bima Wicandra Mohon Tunggu... Dosen - Pencinta klub Liverpool dan Persebaya

Senang mengoleksi dan membaca buku. Budaya visual, budaya sepak bola, dan estetika adalah wilayah yang banyak ditulisnya. Silakan mampir ke https://rumahresensibukuku.wordpress.com/ untuk membaca resensi atas buku yang telah dibacanya.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jejak Ingatan Bola bersama Bapak

7 Januari 2021   02:21 Diperbarui: 7 Januari 2021   04:50 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kelahiran Kediri. Hingga masa sebelum kuliah di Jogja, saya tinggal di Kediri. Jaraknya jauh dari Surabaya. Namun narasi tentang Persebaya sudah saya terima sejak kecil. Koran yang selalu dibawa Bapak dari sekolahan menjadi santapan kami sehari-hari.

Membicarakan klub sepak bola Jawa Timur saat itu ya Persebaya. Radio yang menyiarkan pertandingan sepak bola juga menjadi media kami di desa. Intinya, sepak bola sudah bukan hal asing bagi kami, anak-anak desa saat itu. 

Hanya ada tiga klub yang selalu disebut Bapak jika sedang bercerita tentang sepak bola, yaitu Niac Mitra dan Persebaya. Selalu berapi-api jika menyebut nama-nama pemain kedua kesebelasan itu. Namun hanya ada satu nama pemain yang selalu disebutnya dengan sombong dan tertawa-tawa. Maklum namanya sama. 

Nama Syamsul Arifin adalah nama yang selalu disebutnya dengan pongah. Saya masih sangat kecil sepertinya saat Bapak berkali-kali menyebut nama itu. "Aku og!", kata itu yang selalu diucapkan.

Belakangan saya baru tahu jika di tahun-tahun itu Syamsul Arifin, si pemain Niac Mitra itu, lagi hebat-hebatnya bikin gol. "Kepala emas", kata Bapak saya saat itu. Saat Syamsul Arifin pindah ke Persebaya, Bapak selalu mengikuti sepak terjangnya melalui koran atau radio.

Di desa kami ada lapangan yang dekat dengan rumah, namanya Lapangan Mrican, beberapa meter saja dari Pabrik Gula Meritjan. Ingatan saya, dekat lapangan itu dulu ada warung bubur kacang ijo. Kalau saya sakit dan Bapak harus memeriksakan ke Puskesmas yang letaknya dekat dengan lapangan itu,

Bapak selalu mengajak mampir makan bubur kacang ijo dulu. Maklum, dulu saya takut banget dengan jarum suntik. Bapak menghibur saya dengan membelikan bubur kacang ijo yang menjadi kesukaan saya.

Saat di usia awal SD itu, saya masih suka main di halaman rumah, paling jauh main di sawah atau kebun tebu bersama teman-teman. Ada kejadian yang sampai sekarang saya ingat adalah saat pelajaran Olahraga di Lapangan Mrican, Kediri. 

Mungkin di kelas 4  SD itu saya sempat pingsan saat menerima bola yang tepat mengenai ulu hati. Saya ingat awal digotong ramai-ramai oleh teman-teman saya ke warung kopi dekat Puskesmas Mrican saat itu.

Saya baru sadar saat membaui teh hangat dan aroma kopi warung itu. Ahh...siapa sangka sejak saat itu saya tertarik pada sepak bola. Kejadian "memalukan" itu akhirnya baru terjawab saat 4 tahun yang lalu adik saya mengabarkan bahwa dia bertemu teman yang mengaku menendang bola itu.

Kebiasaan Bapak adalah selalu membawa buku baru dari perpustakaan di sekolah tempat ia mengajar. Kami anak-anaknya, selalu menjadi pembaca buku baru untuk pertama kalinya. Indahnya kenangan menjadi anak dari seorang guru SD di sekolah desa. Buku paket lengkap cerita 5 Sekawan, Trio Detektif, dan Sapta Siaga, kami lahap. 

Yang istimewa hingga kemudian merangkaikanku dengan Persebaya adalah koran Jawa Pos yang dibawanya dari sekolah. Saya masih ingat tentang pengumuman ikut Tret Tet Tet ke Senayan di tahun 1987 itu. Pengumuman besar di halaman depan koran itu menjadi bahan obrolan saya dengan teman-teman. Nama Persebaya sering diucapkan, dan itulah awal bagaimana saya mulai tersentuh oleh Persebaya.

Beberapa kali Bapak mengajak mengikuti pertandingan Persebaya melalui radio. Radio RGS yang frekuensi siarannya agak susah jika diterima di desa saya itu sering bikin Bapak berkali-kali kecewa jika siaran terputus. Susah sinyal, istilah sekarang. Saat RRI mulai pula menyiarkan siaran pandangan mata, kami agak terbantu karena frekuensi lebih mudah diterima. 

Kamar kecil itu menjadi saksi saat kami mendengar penyiar radio teriak-teriak memandu siaran. Saya kadang sambil mijeti Bapak saat bersama-sama "mendengar" Persebaya bertanding. Ibu yang biasanya agak terganggu dengan situasi ramainya saat mendengar radio itu.

Namun suatu ketika justru kakak yang pernah diajak mbonek ke Tambaksari berangkat dari Kediri. Kata kakak, Bapak masuk angin saat pertandingan berlangsung, sehingga memutuskan keluar dari stadion tidak menunggu pertandingan selesai. Keluar dari stadion, Bapak muntah-muntah, katanya.

dokpri
dokpri
Terima kasih, Pak'e, sudah mengenalkan saya pada Persebaya, meski akhirnya sebelum Pak'e meninggal, Persik adalah klub ketiga yang sering diceritakannya, namun bagi saya Persebaya adalah klub cinta pertama.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun