"Aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut" (Munir).
Kumisnya memang tebal. Namun matanya teduh. Dengan kumis tebal ia memang terkesan garang kontradiksi dengan matanya yang teduh terkesan menyejukkan. Jika mendengarnya orasi di depan massa, maka baru ketahuan betapa "berbahayanya" dia. Pilihan pada kata-kata saat berorasi begitu sastrawi namun tetap lugas terdengar.Â
Kumis mungkin hanya apa yang terlihat secara fisik, namun isi kepala itu yang lebih berbahaya. Inilah visualisasi wajah Munir dalam bentuk poster yang disebar oleh AntiTank, brandname seniman jalanan di Yogyakarta. Menatap visualisasi dalam bentuk foto yang kemudian direproduksi oleh AntiTank menjadi poster tentu bukan sekadar memamerkan wajah. Bukan semacam pamer dukungan layaknya wajah-wajah calon politisi yang berjuang melenggang di legislatif waktu lalu.Â
Menempatkan wajah Munir di jalanan adalah upaya menunjukkan nilai kemanusiaan. Nilai ini yang diwakili dari seorang tokoh yang dihilangkan nyawanya entah hingga kini oleh siapa. Negara masih belum hadir, makanya poster versi Andrew "AntiTank" masih berlalu-lalang di jalanan. Teks "Menolak Lupa" yang menyertai poster tersebut dijadikan keyword. Poster AntiTank ini berupaya mengingatkan kita terus-menerus bahwa nilai kemanusiaan bisa hilang jika tidak ditagihkan kepada negara.
Poster dengan versi yang berbeda dibuat oleh Alit Ambara melalui Nobodycorp. Internationale Unlimited. Seperti terlihat dalam poster propaganda ini, Alit memvisualisasikan Munir sebagai sosok di dalam jaket hoodie sambil memegang megafon.
Kedua komunitas yang memiliki sejarah perlawanan dan dipinggirkan sebelum kini merebak sebagai gaya hidup berkesenian di komunitas anak muda. Tentu saja dugaan ini perlu dibuktikan relasi sejarahnya.Â
Megafon telah menjadi semacam "senjata" bagi suara-suara yang dipinggirkan. Ia kerap dihadirkan dalam aksi-aksi massa menandai suara yang ingin didengarkan. Yang menarik dari poster Alit Ambara ini adalah poster ini kerap mondar-mandir di media sosial.Â
Begitulah, budaya pop tidak saja berhenti pada objek visual poster namun juga pada proses distribusinya. Ini yang kadangkala tidak begitu diperhatikan dalam studi komoditas objek. Komoditas hanya diletakkan pada aspek bendawi bukan pada distribusi. Ini juga barangkali kritik untuk Appadurai yang selalu menempatkan objek sebagai komoditas (Appadurai; 1986).
Dalam konteks poster ini, Alit sekaligus mematahkan anggapan bahwa Munir bukanlah komoditas. Tudingan ini kerap kita dengar dari politisi. Mereka tidak memahami bahwa komoditas yang sesungguhnya adalah konsumen itu sendiri. Konsumen itu kini berada di depan layar gadget. Menampilkan Munir di media sosial seperti yang dilakukan oleh Alit Ambara adalah upaya alternatif "Melawan Lupa" bagi generasi-generasi yang lebih dekat pada media sosial.Â
Proses pendistribusian pesan dalam poster ini yang lalu-lalang di wall Facebook, linimasa Twitter, dan sebagainya. Ruang-ruang maya inilah komoditas yang coba dimasuki oleh Alit Ambara. Meski beberapa posternya kerap dilihat dibawa massa saat aksi, namun mereka memperolehnya pun dari ruang maya tersebut.
Poster yang Melawan
Apa yang dilakukan oleh Andrew dan Alit Ambara merupakan cara untuk mengingatkan kembali mengenai perlawanan pada upaya pemberangusan hak asasi manusia. Poster adalah media yang tak lekang dimakan zaman
Bagi korporasi, poster merupakan media yang efektif untuk menjangkau konsumen. Penempatan poster dengan cara yang ditempel di tembok memudahkan orang untuk membaca. Bagi suara-suara yang dibungkam, poster merupakan senjata yang ampuh untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Poster bukan lagi sekadar media namun telah menjadi senjata yang bisa mematikan.
Pemilu 1996 barangkali akan dikenang orang sebagai masa di mana pada saat itu poster partai politik bertarung pula dengan poster yang melawan sistem Pemilu saat itu. "Mega-Bintang" sebagai kekuatan alternatif saat itu secara masif menempelkan poster perlawanan di berbagai tempat, utamanya di Jawa. Ia bersanding pula dengan kekuatan alternatif yang menyuarakan anti militerisme dan penolakan pada 5 paket sistem politik saat itu.Â
Pada tahun itu poster (bersama pula dengan grafiti) secara sporadis bisa ditemukan di berbagai tempat meski juga begitu cepat disobek oleh pihak lain yang merasa terganggu. Ibarat kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya, poster (maupun media jalanan lain) adalah "kucing hitam" yang secara gampang akan disingkirkan. Segampang pula poster perlawanan ini disingkirkan dari jalanan.
Mulai 1998, Taring Padi dan komunitas lainnya secara aktif dan bervariasi menempelkan poster di jalanan di berbagai kota. Secara langsung, poster-poster diperbanyak untuk bisa menyebarkan isu perlawanan secara merata.Â
Perkembangan berikutnya ketika muncul media sosial, penyebaran ini dilakukan dengan cara mengunduh. Dampaknya adalah penyebaran pesan semakin banyak. AntiTank dan Alit Ambara berada dalam masa ini meskipun sebelumnya mereka juga melakukan dengan cara offline, salah satunya adalah dengan menyediakan poster yang bisa difoto kopi. AntiTank dan Alit Ambara memiliki pula website yang menyediakan materi poster untuk bisa diunduh dan diperbanyak oleh orang lain.
Munir, sebagaimana seperti Wiji Thukul dan kawan-kawan yang lain, adalah figur yang mewakili mengenai bagaimana proses pemenuhan maupun penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia di Indonesia. Poster selamanya akan menjadi media yang memenuhi jalanan sekaligus akan menjadi "kucing-kucing hitam".
Seni jalanan memang bukan fenonema baru urusan coretan maupun poster yang ditempelkan di dinding-dinding. Ia dekat dengan semangat perlawanan. Sejak masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, para pejuang bukan hanya berjuang dengan senjata atau meja diplomasi melainkan juga dengan bantuan dinding-dinding untuk mencoretkan kata-kata, gambar, maupun menempelkan poster untuk mengobarkan semangat perlawanan pada kolonialisme.Â
Kini dalam semangat kemanusiaan untuk menyelesaikan kasus orang hilang karena negara maupun kasus negara membunuh rakyatnya, maka jalanan memberi ruang bagi poster untuk selalu ada. Munir memang telah tiada, namun poster mengenai Munir dan kasus orang hilang, Â akan terus lahir dan menyebar. Ia akan selalu mengingatkan dan menagih janji negara yang katanya akan hadir dalam masalah hak asasi manusia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H