Poster yang Melawan
Apa yang dilakukan oleh Andrew dan Alit Ambara merupakan cara untuk mengingatkan kembali mengenai perlawanan pada upaya pemberangusan hak asasi manusia. Poster adalah media yang tak lekang dimakan zaman
Bagi korporasi, poster merupakan media yang efektif untuk menjangkau konsumen. Penempatan poster dengan cara yang ditempel di tembok memudahkan orang untuk membaca. Bagi suara-suara yang dibungkam, poster merupakan senjata yang ampuh untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan. Poster bukan lagi sekadar media namun telah menjadi senjata yang bisa mematikan.
Pemilu 1996 barangkali akan dikenang orang sebagai masa di mana pada saat itu poster partai politik bertarung pula dengan poster yang melawan sistem Pemilu saat itu. "Mega-Bintang" sebagai kekuatan alternatif saat itu secara masif menempelkan poster perlawanan di berbagai tempat, utamanya di Jawa. Ia bersanding pula dengan kekuatan alternatif yang menyuarakan anti militerisme dan penolakan pada 5 paket sistem politik saat itu.Â
Pada tahun itu poster (bersama pula dengan grafiti) secara sporadis bisa ditemukan di berbagai tempat meski juga begitu cepat disobek oleh pihak lain yang merasa terganggu. Ibarat kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya, poster (maupun media jalanan lain) adalah "kucing hitam" yang secara gampang akan disingkirkan. Segampang pula poster perlawanan ini disingkirkan dari jalanan.
Mulai 1998, Taring Padi dan komunitas lainnya secara aktif dan bervariasi menempelkan poster di jalanan di berbagai kota. Secara langsung, poster-poster diperbanyak untuk bisa menyebarkan isu perlawanan secara merata.Â
Perkembangan berikutnya ketika muncul media sosial, penyebaran ini dilakukan dengan cara mengunduh. Dampaknya adalah penyebaran pesan semakin banyak. AntiTank dan Alit Ambara berada dalam masa ini meskipun sebelumnya mereka juga melakukan dengan cara offline, salah satunya adalah dengan menyediakan poster yang bisa difoto kopi. AntiTank dan Alit Ambara memiliki pula website yang menyediakan materi poster untuk bisa diunduh dan diperbanyak oleh orang lain.
Munir, sebagaimana seperti Wiji Thukul dan kawan-kawan yang lain, adalah figur yang mewakili mengenai bagaimana proses pemenuhan maupun penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia di Indonesia. Poster selamanya akan menjadi media yang memenuhi jalanan sekaligus akan menjadi "kucing-kucing hitam".
Seni jalanan memang bukan fenonema baru urusan coretan maupun poster yang ditempelkan di dinding-dinding. Ia dekat dengan semangat perlawanan. Sejak masa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, para pejuang bukan hanya berjuang dengan senjata atau meja diplomasi melainkan juga dengan bantuan dinding-dinding untuk mencoretkan kata-kata, gambar, maupun menempelkan poster untuk mengobarkan semangat perlawanan pada kolonialisme.Â
Kini dalam semangat kemanusiaan untuk menyelesaikan kasus orang hilang karena negara maupun kasus negara membunuh rakyatnya, maka jalanan memberi ruang bagi poster untuk selalu ada. Munir memang telah tiada, namun poster mengenai Munir dan kasus orang hilang, Â akan terus lahir dan menyebar. Ia akan selalu mengingatkan dan menagih janji negara yang katanya akan hadir dalam masalah hak asasi manusia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H