Senyatanya, bangsa kita cukup kaya bukan hanya alamnya. Kita juga kaya pemikir-pemikir hebat berpandangan luas, filosofis dan cukup brilian. Soekarno kita, saya pikir sepadan dengan Geroge Washingthon. Hatta kita, saya pikir lebih elegan dari pada Adam semith pencetus ideologi kapitalisme itu.
Dan saya pikir, kita tak butuh Fatima Mernissi, Pembawa ide gerakan feminisme dari barat itu. Kita punya Ibu Kartini yang lebih mewakili sosok bijaksana dan ibu yang kita rindukan; Cerdas, berwawasan luas, dan tetap lembut bahkan hingga pada cara berpakaian dan senyumnya.
Gerakan feminisme selama ini serasa gemuruh gegap gempitanya, namun sebagai orang yang akan menjadi mitra perempuan, jujur saya sulit menemukan sosok kongkrit perempuan yang mereka inginkan.
Saya tentu bukan penentang ide bahwa perempuan harus lebih berdaya. Bagi saya pepatah jaman bahoela yang mengatakan "musuh yang cerdas jauh lebih baik dari teman yang bodoh" nilai filsofisnya harus menjadi pegangan setiap seorang. Bila musuh cerdas saja baik buat kita, lalu betapa baiknya bila yang cedas adalah teman kita.
Perempuan --sebagai mitra kita setiap saat-- tentu akan lebih membuat kita bahagia daripada perempuan yang hanya bisa minta perhatian dan merengek. Perempuan yang kuat dan cerdas akan membawa pencerahan dan ide-ide gemilang bagi kaum lelaki. Dan itu, akan membuat perempuan makin terhormat serta memiliki tempat istimewa dalam relasinya bersama lelaki.
Hanya saja, menjadi terlalu sibuk hingga melupakan keluarga, tentu bukan sesuatu yang baik. Pemikiran yang cerdas, karir yang sukse serta jabatan yang mapan akan menjadi hambar dan tak berarti saat perempuan melupakan tugasnya untuk mendidik, menyayangi dan mengasuh anak-anak.
Pada titik inilah mungkin saya banyak berbeda dengan prinsip atau pandangan penganut faham fenisme liberal. Bila bagi mereka mengasuh anak dan bekerja di wilayah domistik adalah beban, maka bagi saya pekerjaan di wilayah itu (terutama mengasuh anak) adalah pekerjaan yang justeru lebih penting dari pada pergulatan di wilayah publik --apalagi urusannya cuma soal mata pencahariaan.
Hidup di wilayah domistik berarti menjadi semacam “empu” yang sedang mempersiapkan generasi hebat untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik kelak. Saya meyakini betul apa yang disabdakan Nabi Muhammad bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Kata "pertama" dalam sabda ini bagi saya tidak hanya bisa diartikan dari sisi waktu, tapi juga kedekatan secara emosional.
Apa itu maknanya? Ibu bukanlah hanya menjadi orang pertama sebagai pendidik sebelum guru, dosen, kiayi dan seterusnya, tapi apapun yang melekat pada ibu, baik itu karakter maupun pengetahuan akan menjadi acuan paling utama bagi anak dalam menemukan jati dirinya.
Saya sangat tidak yakin orang-orang hebat seperti Soekarno, Hatta, dan bahkan Mahatma Ghandi sekalipun, lahir dari keluarga broken home yang ibunya lebih banyak di luar rumah dan ia memasrahkan anaknya pada baby sister. Pengalaman yang saya jumpai, ada beberapa tokoh dan teman yang sukses dan berhasil lahir dari ibu yang tidak berpengetahuan dan bahkan tidak bisa baca-tulis. Namun saya menemukan mereka adalah ibu-ibu yang memiliki kebijaksanaan luar biasa. Mereka memang tidak menggauli anak-anaknya dalam suasana akademis yang banyak bersinggungan dengan ilmu pengetahuan, namun mereka mengasuh dengan ketulusan, doa dan keinginan yang kuat menjadikan anak-anaknya lebih baik dari diri mereka sendiri.
Kesimpulan saya tentang ibu adalah: ketersambungan bathin dan kasih sayang, jauh lebih penting dari materi. Ibu yang sibuk di luar mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan materi anaknya tapi lupa memberikan kasih sayang dan mengasuhnya secara langsung, tidak lebih baik dari ibu yang tak berpenghasilan tapi dia selalu benar-benar bisa "hadir” untuk buah hatinya. Mendoakannya, memberikannya motivasi, menghukumnya saat "nakal", atau bahkan berpuasa pada tiap hari kelahirannya.
Sepanjang pengalaman saya menjadi manusia, yang saya butuhkan adalah adanya ibu yang bisa menyayangi dan memberi semangat serta doa, dan ayah yang menjadi contoh dan pelindung.
Ayah tidak sama dengan ibu. Saya tidak bisa berayah atau beribu pada satu orang sekaligus. Jangan memaksa perempuan menjadi seperti laki-laki dan tak usah menjadikan laki-laki sebagai perempuan.
Tapi bahwa perempuan harus cerdas, berilmu dan berpengetahuan, itu hal yang tak bisa ditawar. Sebab tidak mungkin ibu yang tidak terdidik akan lebih bisa melahirkan generasi yang hebat ketimbang ibu yang terdidik.
Bila kita masih membutuhkan Soekarno-Soekarno muda, Hatta muda, dan tokoh-tokoh muda lain seperti bangsa ini dulu melahirkannya, maka tentu kita harus memiliki Kartin-Kartini muda yang akan melahirkan, mengasuh dan mendidik mereka. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H