Mohon tunggu...
Ahmad 'Ubaydi Hasbillah
Ahmad 'Ubaydi Hasbillah Mohon Tunggu... -

Post graduate Student on Islamic studies, UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Izinkan Aku Menhadirkan Wajahmu, Kekasihku!

11 Februari 2011   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:42 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maka, demikian pulalah gambaran umat Nabi Muhammad saw merindukan pertemuan dengan-Nya, atau sekadar melihatnya dalam mimpi. Sungguh, di samping karena memang ada sebuah doktrin hadis yang menyatakan keutamaan melihat nabi, juga telah menjadi keniscayaan bagi umat Islam yang taat pastilah akan merasa mencitainya. Sebagai konsekuensi dari cinta itu, timbullah rasa rindu dan penasaran untuk bertemu. Maka, selama masa penantian dalam kerinduan ini, masing-masing memiliki cara yang berbeda-beda untuk sekadar membayangkan pertemuan dengan kekasih yang dinanti-nantinya itu. Ada yang dengan memperbanyak bersalawat sehingga merasa selalu ada di sampingnya. Ada pula yang dengan mengkaji dan menghayati serta kemudian mengamalkan hadis-hadisnya. Cara ini sangat efektif untuk mengenal nabi saw secara lebih dekat, bahkan siapapun dapat memasuki lorong waktu menuju "dunia masa nabi" melalui warisan hadis-hadisnya itu. Ini karena dalam hadis, juga banyak dikisahkan tentang peristiwa secara kronologis, lengkap dengan setting dan plotnya. Dengan menghayati hais-hadis yang ada, seseorang juga dapat membayangkan dan mengimajinasikan wajah rasul. Rasulullah seolah-olah hadir dan tergambar di jiwa. Orang buta sekalipun, dengan mendengarkan hadis-hadis ini juga akan selalu bisa menjumpainya, di mana pun, kapan pun. Tentu hal ini tidak akan didapatkan jika rasulullah saw tergambar nyata dalam lukisan, karikatur, bahkan audio visual sekalipun. Di samping, akan banyak mereduksi postur tubuh aslinya, penggambaran dengan cara seperti itu hanya dapat dinikmati oleh orang yang tidak buta saja. Itu pun, gambaranya juga sangat mungkin berubah-ubah.

Membaca kembali isu global terkait karikatur nabi, maka penting kiranya untuk dikaitkan dengan beberapa kasus induk dalam wacana keagamaan. Wacana global itu dapat dikaitkan dengan apa yang dirasakan oleh sebagian besar umat Islam terkait perasaan cinta, rindu, dan penasarannya terhadap rasul, kekasihnya. Sehingga kerinduan itu, membuatnya ingin mengenal lebih dekat dengan membaca biografi dan hadis-hadis shama>'il.

Sebagai sebuah karya seni, yang boleh jadi tidak ada kaitannya dengan agama, lukisan apapun boleh digambar. Hanya saja, dalam memahami makna gambar itu, masing-masing orang bisa berbeda, apalagi jika gambar itu membawa symbol-simbol keamagaan tertentu. Dalam kasus karikatur nabi Muhammad yang diekspos di berbagai media massa dan sempat menghebohkan dunia itu misalnya, banyak perspektif bermunculan. Ada yang memaknainya sebagai symbol kebebasan berekspresi, ada yang memaknainya murni sebagai karya seni, dan ada pula yang memaknainya sebagai sebuah penghinaan dan penodaan agama atau pencitraan negative terhadap tokoh agama.

Penafsiran yang berbeda lagi jika pengalaman pengamat gambar adalah sebagai seorang pengamal sulu>k sufi. Dalam tradisi sufi, dikenal istilah mah}abbah (cinta) yang senantiasa merindukan sang kekasih, dengan memperbanyak berdzikir atau mengingatnya. Dalam pengalaman sufi, terdapat beberapa macam perilaku seorang sa>lik ketika berdzikir. Di antaranya adalah perilaku khus}us} al-khus}u>s{ dengan dzikir ruhnya yang diiringi dengan musha>hadah (merasa diawasi oleh Allah). Dzikir semacam ini khusus bagi orang telah mencapai maqam 'a>rifi>n melalui fana> atas dzikirnya dan lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri serta anugerah yang diberikan kepadanya.

Mah}abbah merupakan salah satu pos dalam ajaran sulu>k sufi yang menjadi arena persaingan para sa>lik. Para sufi selalu berusaha menanamkan kecintaan ini dalam dirinya. Dengan mencapai mah}abbah ini, seseorang akan merasa tenang dan bahagia. Berkat mah}abbah ini pula, hati menjadi bersih dan tidak ambisius. Hal ini karena mah}abbah adalah "makanan pokok" jiwa seseorang (qu>t al-qulu>b). Karenanya, kahilangan rasa cinta (mah}abbah) ini, dapat mengakibatkan seseorang tersebut terbuai dalam kesesatan.

Dalam proses mah}abbah ini seorang sa>lik dituntut untuk banyak berfikir (tafakkur) dan bertadabbur. Terkait hal ini al-Ghaza>li> membagi tafakkur menjadi dua macama, yaitu tafakkur yang berkaitan dengan agama (ma> yata'allaq bi al-di>n) dan yang berkaitan denagan selain agama (ma> yata'allaq bi ghayr al-di>n). Tafakkur yang berkaitan dengan agama adalah tafakkur ketuhanan, yaitu segala hal menyangkut Tuhan, seprerti Dzat, sifat, dll. Jenis tafakkur ini terlarang menurutnya. Sementara jenis afakkur kedua yang berkenaan denagan selain agama (dengan sesama), adalah diperbolehkan. Caranya adalah menghadirkan segala yang dicintai oleh Tuhan ke dalam hati.

Satu hal dari kasus sufi di atas, yang hendak ditarik ke dalam permasalahan ini adalah bahwa mahabbah seorang pecinta membuatnya merasa rindu dan ingin bertemu dengan sang kekasih. Maka, sang pecinta Muhammad, pasti akan merindukannya dan mengharapkannya untuk bertemu dan bertatap muka. Apalagi didukung dengan adanya hadis-hadis tentang keutamaan orang yang melihatnya, serta hadis tentang ketidakmampuan setan menjelma sebagai dirinya. Maka, ketika seseorang bermimpi melihatnya, berarti seakan-akan atau sama halnya dengan melihatnya langsung di dunia nyata. Sehingga, kerinduan itu pun tak menutup kemungkinan untuk menghantarkannya pada perilaku membayangkan atau mengimajinasikan wajah rasulullah, meski ia belum pernah beremu sama sekali, baik dalam mimpi, maupun di alam nyata.

Membayangkan wajah nabi ini juga didasarkan pada kemuliaan nabi. Demikian juga membayangkan wajah orang lain, sebagaimana tradisi pengamal tarekat di atas, bahwa wajah yang enak dibayangkan merupakan kemuliaan yang dianugerahkan kepadanya. Bahkan, nabi saw menegaskan bahwa sebaik-baik orang adalah yang mukanya menyenangkan dan menenteramkan ketika dilihat. Maka, dengan hadis-hadis al-Shama>'il al-Muh>ammadi>yah itu seseorang dapat meingkatkan rasa cintanya kepada nabi Muhammad dengan semakin tumbuhnya rasa penasaran melihat wujud aslinya sebagaimana yang terilustrasikan dalam hadis-hadis itu.

Di hari-hari ulang tahunmu ini, ku mohon izin tuk menghadirkan wajahmu di hadapan mataku. Wajahmu yang telah menjadi milik seluruh umatmu, dan tak terkecuali diriku. Oh.... Muhammadku.... Muhammadku.... Nabiku... Aku rindu kepadamu.... Sekalian aku juga mohon izin tuk jadikan setiap hariku sebagai hari ulang tahunmu....

Sampai jumpa kekasihkku....!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun