Saya tambah waktunya, 5 menit. Tuliskan pertanyaannya.
Ada 9 anak disana. 5 pertanyaan sama berkutat pada "kenapa rumah dibangun dengan semen & bata?". 2 pertanyaan retoris, hanya untuk menggugurkan kewajiban saja, "dimana kamu membeli semen?" setelah saya tanya balik jawaban dari pertanyaan itu kepada si penanya, dia bisa menjawab dengan tegas "toko bangunan."
"Kamu sudah tahu jawabannya. Kenapa tanya?"
"Pertama saya bingung, kedua kan tugasnya bikin pertanyaan. Itu kan juga pertanyaan. Di sekolah kalau tugasnya bikin pertanyaan, ya bikin aja. Malah kadang kita disuruh bikin pertanyaan dan menjawab pertanyaan itu."
2 pertanyaan tersisa. Pertama  "apakah merokok itu boleh atau tidak boleh? ", Kedua adalah "Kenapa ada Jam?". Pertanyaanya ini dibuat oleh anak kelas 2 SD. Begitu saya ajukan pertanyaan kedua, ada beberapa anak yang lebih besar tertawa.
"Kenapa kalian tertawa?"
"Yo kabeh tahu ta. Jam itu dipakai lihat waktu. Pertanyaannya gak penting."
"Le, apa maksudmu kenapa ada jam ?
"Aku tahu, mbak. Jam itu untuk menunjukkan waktu tapi aku pingin tahu kenpa kok jam itu 1 sampai 12 kenapa gak sampai 18 gitu." Anak - anak yang lain semakin tertawa. Mereka berpikir betapa naifnya si anak Kelas 2 SD ini.
"Le Nduk, ada yang bisa jawab kenapa jam hanya 1 sampai 12. Ada yang tahu sejarah jam modern yang kita gunakan sekarang? Apakah dulu nabi Muhammad memiliki arloji untuk melihat waktu shalat? Ada yang tahu kenapa waktu itu ada dan siapa yang menggunakan waktu sebagai ukuran?"
Anak - anak diam. Mereka baru menyadari bahwa pertanyaan sederhana yang mereka tertawakan itu menimbulkan pertanyaan besar di belakangany . Mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu, jelas ini adalah pondasi yang gagal dibangun. Bagaimana mereka bisa belajar kalau mereka sendiri tidak tahu apa tujan mereka belajar selain menuntut ilmu yang tinggi, memiliki nilai rapor yang baik, memiliki pekerjaan yang baik, mendapatkan penghasilan bagus, dan mendapatkan status sosial "orang sukses" dari masyarakat. Hanya sesempit itukah arti pendidikan?