Teman saya punya quote lucu tentang iniÂ
"Saya datang ke sekolah hanya ada 2 alasan. Rapotan dan rapat keuangan."
Yup, komunikasi antara orang tua dan sekolah memang sangat kurang. Kalaupun ada sesi konsultasi dengan orang tua biasanya kalau sudah ada masalah yang terjadi. Jarang sekali ada pertemuan orang tua murid yang membahas ilmu parenting, pemahaman tentang sistem sekolah, dan sosialisasi kurikulum yang akan dihadapi oleh anak-anaknya. Hal ini mengesankan kalau di sekolah ya urusannya sama guru, di rumah urusannya sama orang tua. Padahal, hubungan yang sinergis antara orang tua dan guru tentu akan membuat pendidikan bisa terdistribusi dengan baik ke anak. Memang, saat ini sudah ada sekolah-sekolah yang melibatkan orang tua sebagai penanggung jawab pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah, namun ini hanya ada di sekolah-sekolah tertentu yang biayanya cukup tinggi.
Apakah bisa terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dan guru? Saya bilang bisa. Sangat bisa.Â
Saya dan teman-teman pengajar di sini selalu menyempatkan diri ngobrol dengan orang tua dan menanyakan bagaimana perilaku anak di dalam rumah. Kami juga sering mengundang orang tua untuk ikut melihat bagaimana anaknya belajar di kelas. Sering sekali, orang tua mengajak kami berdiskusi tentang bagaimana pola pembinaan yang baik untuk pendidikan anak mereka. Bahkan tidak jarang, ada orang tua yang memaksa kami untuk mengajar mereka tentang sebuah materi yang mereka kurang pahami saat membantu anak mereka belajar. Â Hal ini cukup menyenangkan, bagaimana kita merasa sebagai guru diberi kepercayaan untuk belajar dan berproses bersama mereka bukan hanya di ranah akademis, tapi juga bersikap.
Apa yang saya tuliskan di sini bukan ingin mengunggulkan sistem pendidikan yang saya rancang sendiri di ruang belajar yang saya bangun di kampung kelahiran saya. Saya hanya ingin menunjukkan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia yang sudah akut di mana sekolah dijadikan ajang uji coba sistem, setiap ganti menteri pendidikan tentu akan ganti sistem pendidikan. Sekolah hanya jadi ajang proyek semata. Belum lagi, banyaknya oknum yang menjadikan guru menjadi profesi bukan sebuah pengabdian hingga anak-anak diperlakukan sebagai objek bukan subjek. Semakin tinggi gaji guru, semakin tinggi orang yang mengincar pekerjaan ini, semakin turun mental pengabdian terhadap pendidikan. Dan murid-murid akhirnya hanyalah korban kapitalisme pendidikan. Akhirnya, bisa kita lihat sekarang, tumbuhnya generasi-generasi acuh dengan segala problemanya.
Apa yang saya bangun di kampung ini, hanya langkah kecil kami melawan sistem pendidikan yang ada. Ketimbang saya hanya mengkritisi tanpa solusi, Saya meyakini apa yang disampaikan oleh Ki hajar dewantara.
Sekolah bisa di mana saja. Guru bisa di mana saja.
dan dari pengalaman saya pribadi, ingin saya tambahkan.
"Murid yang niat dan guru yang tulus adalah awal pendidikan yang sehat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H