Mohon tunggu...
Nyonya Ria
Nyonya Ria Mohon Tunggu... Front End Developer -

Saya adalah Pembelajar. Belajar menjadi ibu, belajar menjadi penulis, belajra mengenal sejarah lokal, belajar untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melawan Sistem Pendidikan dengan Ruang Belajar Kampung

19 Februari 2017   21:11 Diperbarui: 20 Februari 2017   09:02 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teman saya punya quote lucu tentang ini 

"Saya datang ke sekolah hanya ada 2 alasan. Rapotan dan rapat keuangan."

Yup, komunikasi antara orang tua dan sekolah memang sangat kurang. Kalaupun ada sesi konsultasi dengan orang tua biasanya kalau sudah ada masalah yang terjadi. Jarang sekali ada pertemuan orang tua murid yang membahas ilmu parenting, pemahaman tentang sistem sekolah, dan sosialisasi kurikulum yang akan dihadapi oleh anak-anaknya. Hal ini mengesankan kalau di sekolah ya urusannya sama guru, di rumah urusannya sama orang tua. Padahal, hubungan yang sinergis antara orang tua dan guru tentu akan membuat pendidikan bisa terdistribusi dengan baik ke anak. Memang, saat ini sudah ada sekolah-sekolah yang melibatkan orang tua sebagai penanggung jawab pendidikan anak, baik di sekolah maupun di rumah, namun ini hanya ada di sekolah-sekolah tertentu yang biayanya cukup tinggi.

Apakah bisa terjadi komunikasi yang baik antara orang tua dan guru? Saya bilang bisa. Sangat bisa. 

Saya dan teman-teman pengajar di sini selalu menyempatkan diri ngobrol dengan orang tua dan menanyakan bagaimana perilaku anak di dalam rumah. Kami juga sering mengundang orang tua untuk ikut melihat bagaimana anaknya belajar di kelas. Sering sekali, orang tua mengajak kami berdiskusi tentang bagaimana pola pembinaan yang baik untuk pendidikan anak mereka. Bahkan tidak jarang, ada orang tua yang memaksa kami untuk mengajar mereka tentang sebuah materi yang mereka kurang pahami saat membantu anak mereka belajar.  Hal ini cukup menyenangkan, bagaimana kita merasa sebagai guru diberi kepercayaan untuk belajar dan berproses bersama mereka bukan hanya di ranah akademis, tapi juga bersikap.

Apa yang saya tuliskan di sini bukan ingin mengunggulkan sistem pendidikan yang saya rancang sendiri di ruang belajar yang saya bangun di kampung kelahiran saya. Saya hanya ingin menunjukkan kompleksitas masalah pendidikan di Indonesia yang sudah akut di mana sekolah dijadikan ajang uji coba sistem, setiap ganti menteri pendidikan tentu akan ganti sistem pendidikan. Sekolah hanya jadi ajang proyek semata. Belum lagi, banyaknya oknum yang menjadikan guru menjadi profesi bukan sebuah pengabdian hingga anak-anak diperlakukan sebagai objek bukan subjek. Semakin tinggi gaji guru, semakin tinggi orang yang mengincar pekerjaan ini, semakin turun mental pengabdian terhadap pendidikan. Dan murid-murid akhirnya hanyalah korban kapitalisme pendidikan. Akhirnya, bisa kita lihat sekarang, tumbuhnya generasi-generasi acuh dengan segala problemanya.

Apa yang saya bangun di kampung ini, hanya langkah kecil kami melawan sistem pendidikan yang ada. Ketimbang saya hanya mengkritisi tanpa solusi, Saya meyakini apa yang disampaikan oleh Ki hajar dewantara.

Sekolah bisa di mana saja. Guru bisa di mana saja.

dan dari pengalaman saya pribadi, ingin saya tambahkan.

"Murid yang niat dan guru yang tulus adalah awal pendidikan yang sehat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun