"Aku menyerah." Wanita itu mendesis lirih. "Sudah terbiasa gagal, satu kegagalan lagi saja tentu tidak akan menyakitiku."
Bayangan pria berkulit sawo matang dengan kaca mata berlensa tebal itu melintas cepat. Dadanya seperti sedang ditanam bom waktu. Keputusan sang kekasih untuk pergi meninggalkan secara mendadak memicunya.
Lantas, bersamaan dengan embusan angin lembab senja itu dan tubuh langsingnya melayang di udara, sepucuk surat yang baru beberapa menit lalu dia paksa tuliskan meski dengan mata mengabur, digenggamnya rapat.
Honey,
Aku tidak pernah salah mencintai. Waktulah yang tidak pernah berpihak pada kita. Aku berharap bisa bertemu denganmu, jauh sebelum kamu memilih perempuan itu jadi ibu bagi anak-anakmu.
Aku pergi membawa semua kenangan manis kita. Pun benih cinta yang kita bentuk malam itu.
Till we meet again in eternity.
Ai love Yo.
Semenit berlalu, jeritan beberapa orang dari atas sebuah gedung perkantoran lima lantai di bilangan Jakarta Selatan itu terdengar memekakkan gendang telinga. Tubuh dengan wajah penuh senyum sang wanita meluncur bebas dari rooftop, menampar trotoar, hancur seketika.
.
.
.
T a m a t
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H