Mohon tunggu...
Jose Iskandar
Jose Iskandar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Utang Meroket, Subsidi Dicabut, Siapa Sebenarnya yang Diuntungkan?

25 Juli 2017   20:45 Diperbarui: 25 Juli 2017   20:56 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang Indonesia saat ini menembus angka Rp3.667,41 triliun. Seperti kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan angka tersebut jika dibagi dengan penduduk Indonesia maka setiap orangnya menanggung beban utang Rp13 juta.

Dalam kurun waktu 2,5 tahun, utang Indonesia naik 1.067,4 triliun. Jumlah itu hampir sama dengan kenaikan 10 tahun era pemerintahan sebelumnya, saat itu SBY mewarisi utang dari Megawati sebesar 1,303 triliun. Pemerintah beralibi kalau penambahan utang untuk pembangunan infrastruktur, bukan untuk hal-hal yang berbau konsumtif seperti subsidi BBM atau sebagainya. Logika sederhana adalah utang itu tidak untuk mensubsidi rakyat lagi, tapi untuk keperluan yang lain.

Dengan demikian, subsidi untuk masyarakat yang selama ini dianggap jadi beban utang dikurangi. Mungkin pemerintah beranggapan rakyat sudah tidak perlu disubsidi lagi, karena tingkat perekonomian yang sudah pesat. Pada awal tahun 2015, menteri keuangan yang masih dijabat oleh Bambang Brodjonegoro menyebutkan pencabutan subsidi membuat negara berhemat sekitar 200 triliun rupiah.

Dengan kata lain, penambanan utang yang mencapai 1.067,4 triliun murni untuk pembangunan infrastruktur. Karena subsidi untuk rakyat telah sebagian besar dicabut. Beban hidup rakyat tentu akan semakin berat, harga-harga yang ada dipasaran juga ikut naik.

Misal untuk sembako, dengan naiknya harga BBM secara otomatis akan menaikkan harga modal suatu barang. Sehingga pedagang juga ikut menaikkan harga ke konsumen. Bagi masyarakat yang pendapatannya tidak menentu atau dibawah UMR/UMP maka kenaikan ini akan menjadi berita buruk. Tidak mengherankan angka kemiskinan naik meski standarnya miskin menurut BPS adalah berpendapatan Rp11 ribu/hari.

Dengan standar tadi, ada sekitar 27,7 juta jiwa yang miskin. Jika dipakai standar UMR mungkin jumlahnya berkali lipat dari angka tersebut. Orang-orang inilah yang paling merasakan dampak terbesar dari dicabutnya subsidi. Penghasilan mereka sehari tidak bisa membeli sebungkus rokok.

Kondisi semakin sulit saat subsidi untuk listrik juga dicabut. Memang disebutkan bagi yang golongan tertentu tetap ada subsidi, tapi apakah pendataannya sudah benar?. Listrik naik, harga modal dalam suatu produk juga ikut naik. Maka lagi-lagi harga jual juga naik. Yang kembali menjerit adalah orang dari ekonomi lemah.

Siapa Yang Diuntungkan?

Akhir 2016, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkapkan, proses lelang atau tender proyek-proyek infrastruktur di era pemerintahan Joko Widodo menjadi ladang aksi praktik usaha yang tak sehat melalui beragam bentuk persekongkolan.

Komisioner KPPU Munrokhim Misanam mengatakan, selama 2015, sekitar 70 persen sampai 80 persen dari proyek infrastruktur ternodai oleh kasus persekongkolan tender proyek yang justru difasilitasi oleh pemerintah. Data KPPU selaras dengan penciuman KPK yang menyebutkan sekitar 80 persen kasus korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi tender proyek pemerintah, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Nah loh, dengan adanya persekongkolan maka ada kesepakatan. Jika itu terjadi maka alokasi yang seharusnya murni untuk pembangunan malah mengalir kekantor pribadi atau kelompok tertentu.

Persekongkolan yang menjurus ke korupsi tersebut tidak saja membunuh dunia usaha, juga dapat mengurangi jatah pembangunan infrastruktur. Seharusnya nilai untuk membangun misalnya 10, dengan adanya persekongkolan bisa saja dikurangi 8. Yang rugi tentu rakyat, dan yang untung tentu yang bersekongkol.

Siapa yang bersekongkol?. Paling besar peluangnya adalah kelompok yang berada dilingkaran kekuasaan atau yang dekat dengan kekuasaan tersebut. Karena mereka yang punya pengaruh untuk itu.

Rakyat yang diminta bersabar untuk menahan lapar karena alasan pembangunan, ternyata kenyataannya keuntungan paling besar malah diraih oknum tertentu. Mereka berpesta diantara pekik kelaparan rakyat yang hak mereka seharusnya dilindungi negara telah dicabut.

Bagi rakyat berekonomi lemah, dapat memenuhi kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan anaknya saja sudah cukup. Jangan tindas mereka demi mendapatkan pujian melalu pencitraan.  Sebagus apapun infrastruktur kalau rakyat kecil tidak dapat menikmati maka sama saja bohong.

Sumber: CNNIndonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun