Takdir
"Semestinya tidak ada lagi yang Luh ragukan. Sama dengan rintik hujan sedari pagi turun membasahi bumi. Sampai malam ini pun, saat kita menyisakan silang pendapat, dia tetap setia mendampingi. Luh rasakan saja hempasan semilir angin, tanpa diminta mendinginkan suasana".
Begitu Pan I Luh mengusir kesedihan mereka berdua. Dalam hening malam, pembicaraan tentang kematian tiada pernah terputus. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai, tentu sesuatu yang menyedihkan.
Sambil merenung Pan Putu minum teh jahe hangat  yang dibuat oleh istrinya.
"Tapi, Bli. Mengapa Mbok harus meninggalkan   kita selamanya?"
Mn Iluh melontarkan kesedihannya sambil menyekat air mata. Dalam hatinya ia tidak terima mengapa orang yang sangat dikasihi meninggalkan untuk selamanya.
"Itulah takdir Luh. Kita tak kuasa melawannya. Termasuk siapapun".
Pan Putu berusaha menenangkan istrinya. Satu minggu semenjak ditinggal kakak, dia masih tidak bisa menerima kenyataan. Memang disetiap kesempatan, pertemuan dengan kakak pasti ada saja pembicaraan yang menarik. Terkadang ada sesuatu yang diminta.
Tetapi yang lebih sering adalah bimbingan tentang hidup yang sesungguhnya. Hidup ruwa bhineda, kehidupan di dunia sana nanti, sering menjadi petuah bagi kami berdua. Di saat kegundahan menyelimuti kami berdua, beliau selalu bilang jalani saja. Cobaan bagian dari karma kita. Tidak boleh dihimdari, apalagi dialihkan kepada orang lain.
"Luh, rumah disini, gampang-gampang susah. Mbok minta Luh menyadari dan jangan tidak menerima kenyataan itu". Itu pesan yang sering diucapkan.
"Maksud Mbok apa? Saya tidak paham". Suara Men I Luh agak tegang, sambil memegang lutut kakak iparnya. Ia sangat ingin mendapatkan jawaban yang jelas dari kata-kata yang baru saja diucapkan.
"Mbok tidak perlu menjelaskan. Pada saatnya nanti Luh akan mengerti".
Rahasia itu, sampai saat ini masih bergelayut dipikiran Men Iluh. Malam sudah menunjukan pukul 11.
Rembulan mulai menampakan wajahnya, seiring hilangnya gerimis. Rasa dingin menyusup. Pan Putu bergegas merapikan alat-alat di balai bengong.
"Mn I Luh, sebaiknya kita tidur dulu. Sisa jejahitan sesaji besok saja dilanjutkan. Besok kan hari minggu.
Nanti anak anak suruh metanding". Pan Putu mendekati istrinya. Dia takut istrinya sakit. Dia tidak biasa bekerja sampai malam begini.
"Ya Bli. Silahkan duluan. Saya merapikan janur dulu". Men I Luh memungut potongan-potongan janur yang lumayan banyak di Bale Mundak. Entah jam berapa, dia baru bisa tidur disamping suaminya yang sudah tertidur lelap. Ia merasa bersyukur memasuki usia tua, masih didampingi suami yang penuh perhatian.
Hari-hari dilalui Men I Luh dengan menyisakan satu pertanyaan tentang rahasia di rumah tua. Selama dia menjadi bagian keluarga besar di situ, dia hanya melaksanakan kewajiban yang tidak jauh berbeda dengan orang tua lainnya. Tidak pernah dirasakan ada hal yang aneh.
"Bli, apa sih maksud Mbok tentang rumah kita? Saya kok tidak mengerti". Pertanyaan Men ILuh kepada suaminya yang sedang mempersiapkan ulam upakara.
"Aduuh...Luh. kepikiran banget ya. Itu hanya candaan dari Mbok. Karena kita sebagai tetua di rumah ini, pastilah dikuatkan".
"Maksudnya candaan?" Men ILuh kelihatan penasaran. Dia mendekati suaminya dari tempat metanding.
Men ILuh merasa takut kalau-kalau dia punya hutang yang harus dibayar dengan sesajen. Dia percaya betul dengan sanghyang embang. Apalagi hutang pada leluhur. Dia sering mendengar orang-orang bilang berhutang kepada leluhur, akan sulit menjalani kehidupan ini.
"Luh, mungkin maksud Mbok kita harus lebih giat melatih diri untuk mempersiapkan upakara. Bukankah selama ini beliau yang sering membantu kita".
"Apa hanya seperti itu. Sesederhana itu Bli?"
"Menurut Bli ya". Jawab Pan I Luh sambil menyelesaikan adonan caru. Sebenarnya Pan I Luh  juga menyimpan rahasia ucapan Mbok. Tapi dia berusaha. mencari jawab.
"Benar juga kata Bli. Kita seumur ini sangat dimudahkan oleh Mbok. Tapi saya ragu ucapan Mbok tentang rumah tua kita tidak sebatas itu Bli".
"Ya sudah. Dekati cucu Men I Luh. Itu dia memanggilmu. Pasti ada yang diminta. Kan Men ILuh yang paling sayang".
"Ah, Bli nak mula daya, biar tidak repot". Jawab istriku sambil bergegas mendekati cucunya. Dia memang dekat dengan cucunya karena sering kasi upah seperti permen.
Tidak terasa senja telah menampakkan wajah cerianya hari ini. Langit yang terang tampak menunjukkan rona jingga. Burung-bangau mengepakan sayapnya ke arah timur. Mungkin yang dituju Desa Bedulu karena disana habitat bangau sangat nyaman. Bangau menjadi bagian kehidupan masyarakat. Dia dijaga dan menjadi tontonan wisata yang menarik. Pan I Luh menyandarkan tubuhnya di bale-bale.
Di usianya yang semakin senja, terlintas dipikiran bagaimana dia dan keluarga harus menjaga tetamian leluhur. Pan I Luh merasa harus lebih banyak lagi belajar. Kehidupan lain selain tentang dunia ini, ternyata sangat indah dan mendamaikan hati ketika kita menjalani dengan ketulusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H