"Yang berpacaran nanti, Ibu apa Jesika?" Jesika mementahkan ucapan ibunya. Ia tidak ingin Ibunya terperangkap  kamuflase yang namanya Alex. Ibunyapun merunduk.
Entah jampi-jampi apa yang dibawa Alex, Â hingga ibunya begitu kepincut dengan Alex.
Memang Alex di dapati ada di rumah Jesika beberapa kali. Cuman Jesika belum sempat bicara karena Alex buru-buru balik pulang.
Penampilannya memang meyakinkan. Setiap datang selalu membawa mobil sendiri. Pakaian selalu nyentrik. Mungkin juga Alex membawa oleh-oleh intuk ibunya. Cuman Jesika belum pernah menanyakan.
Hingga sekali waktu Jesika sempat berbincang sejenak dengan Alex. Ia tidak enak masuk rumah ketika Alex duduk di beranda menikmati secangkir kopi.
Pembicaraannya yang ringan dan santai. Tidak sedikitpun menyinggung masalah cinta. Jesika pun tak ingin itu terjadi karena ia masih trauma dengan peristiwa kehilangan kekasih yang sangat disayangi.
Hanya sesekali ucapan Alex mau menggiring pembicaraan soal percintaan. Sekali lagi Jesika tidak menginginkan, hingga ia palingkan kepembicaraan lain.
Entah bagaimana kemudian Alex menafsirkan Jesika telah jatuh cinta kepada Alex, hingga ia menitip sebuah cincin kepada ibunya.
Mulai saat itulah harga diri Jesika sebagai perempuan tersinggung berat. Begitu mudahkah lelaki menafsirkan perempuan itu lemah, hingga mudah dirayu?
Benar saja, suatu hari ibunya memberikan sebuah cincin dari ibunya yang konon pemberkian Alex. Dan hari itu Alex akan menyematkan kepada Jesika sebagai tanda pertunangan. Hati Jesika marah mendidih. Ia menunggu Alex dengan sabar.
Ketika Alex datang kemarahan Jesika semua ia tumpahkan. Jesika betul-betul mwmbuat Alex terdiam beribu bahasa. Hingga cincin itu dia lempar ke dada Alex.
Dalam hatinya Jesika berkata. "Aku tidak menjadikan diriku manusia dungu."