*****
Hingga disuatu hari, Sufi mendapatkan paket kiriman. Hatinya sangat bahagia. "Pasti oleh-oleh kiriman suamiku Yanto."pikirnya.
Tidak berpikir panjang bungkusan paket itu Sufi buka. Alangkah terkejutnya Sufi. "Apa-apaan ini? Apa mataku salah melihat?" Sufi memandangi poto itu.
Setelah Sufi agak tenang, dia membaca surat yang menyertai.
"Ma, maafkan aku. Aku sudah tidak milikmu lagi. Aku sudah melakukan pernikahan di sini, seperti dalam poto itu. Aku sudah hidup bahagia. Istriku tuan tanah disini."
Tanpa meneruskan, surat itu dirobek sekecil-kecilnya. Hatinya menjerit. Sufi tidak bisa menahan emosinya. Ia berteriak histeris. Sampai-sampai kedua mertuanya memandangi.
Sufi tidak menunggu hari esok. Sufi langsung bergegas balik kerumah orang tuanya, walau ia tahu ayah ibunya telah tiada. Ia ajak anaknya yang baru berumur 2 tahun.
*****
Karena ingin balas dendam kepada suaminya, Sufi akhirnya berangkat bekerja ke luar negeri. Ia tinggalkan anaknya yang saat itu baru berumur tiga tahun.
"Nek, Sufi berangkat kerja ya. Tolong Nenek jaga cucu dengan baik. Lebaran nanti pasti Aku pulang."
Demikian Sufi menitipkan anaknya.
Hampir dua tahun Sufi bekerja di luar negeri. Sufi teringat janjinya untuk bertemu Rani anaknya.
Tepat dua hari yaitu di hari minggu sebelum lebaran, Sufi diijinkan mudik ke rumahnya. Hatinya sangat senang.
Hari dinanti telah tiba. Pagi-pagi Sufi sudah sampai di Kampung Ciganjur. Kampung tempat kelahirannya. Kelihatan rumah masih sepi.
"Nek...., Nek..., ada dimana? Ni aku Sufi datang."
Sufi memanggil neneknya. Ternyata nenek sedang menyiapkan makanan untuk Rani anaknya.