Perasaan Utari sangat sedih. Mengapa nasib Rio begitu sial? Mengapa keluarganya rela membuang begitu saja?
Tanpa berpikir panjang Utari naik mobil polisi menuju rumah sakit. Alangkah terkejutnya Utari ketika ia diajak melihat Rio di sal penyakit bedah.
Rio terkapar tak bergerak. Dadanya terbalut perban. Demikian juga pahanya. Dibibirnya terpasang alat bantu pernafasan. Selang infus bergelantungan di tangan Rio. Tidak cukup sampai disitu. Kedua tangannya juga di borgol.
Utari berusaha menyembunyikan air matanya. Tapi itu tak bisa ia lakukan. Utari menangisi kekasihnya yang bernasib sial.
"Utari, kami mohon maaf Rio keadaan seperti ini. Ia terkena tembakan di dada dan di paha, karena melawan saat dilakukan penangkapan. Rio termasuk pengedar narkoba kelas kakap."
Sampai disitu, Utari tidak mampu menahan rasa untuk melawan.
"Tidak mungkin Pak Polisi. Tidak mungkin. Aku tahu siapa Rio."
Utari mendekati Rio dan mengusap-usap pipinya. Doa dia lantunkan agar Rio bisa diselamatkan.
"Mbak Utari, mohon bersabar. Semua perawatan Rio ditanggung negara."
"Tapi Utari tak percaya." Utari menjerit sambil mengguncang badan bapak polisi.
"Mbak Utari. Biarkan dulu semua berjalan. Semoga Rio cepat sembuh. Disana akan ada persidangan sebagai pembuktian."
Bapak polisi meninggalkan Utari sendirian. Sementara Utari meyakinkan dirinya. "Apapun yang terjadi cintaku pada Rio tak kan pupus". Kata hatinya sambil mengusap air matanya.