Mohon tunggu...
Nyoman Maesa
Nyoman Maesa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

pemula yang ingin belajar bercerita dengan rangkaian kata dan imaji

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengayuh Cerita Menuju Barat

25 November 2023   22:18 Diperbarui: 25 November 2023   22:27 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Nasional Baluran di pagi hari. Dokpri

Al Mal Tiempo, Buena Cara

“Ketika kesulitan itu datang, hanya orang-orang tangguh yang tetap berjuang”. Ketika urat-urat paha mulai tertarik di saat sedang melahap medan bergelombang di Barat Bali, tepatnya Ketika mulai meninggalkan kota Tabanan. Walaupun hari itu, Senin, 17 Januari 2022, kami memutuskan hanya untuk bersepeda mulai dari Legian hingga Pantai Medewi di batas Kabupaten Jembrana, wilayah administrasi terbarat dari pulau Bali yang indah ini, sekitar 75 km. Jarak perjalanan yang moderat sudah diatur oleh sahabat saya, pak Yusuf Paulus, untuk memulai perjalanan ke Banyuwangi yang juga membagi banyak koleksi foto-fotonya dari perjalanan ini.

Rupanya latihan bersepeda yang saya lakoni selama ini, 3 kali dalam seminggu dengan jarak tempuh rata-rata 20 km setiap latihan. Rupanya belum cukup mampuni untuk melatih otot-otot kaki untuk perjalanan bersepeda ini. Padahal ini baru hari pertama dalam perjalanan kami, rencana yang diajukan oleh sahabat saya untuk merayakan 10 tahun kami mulai bersepeda bersama dengan klub sepeda Dungdung. Klub sepeda yang bertransformasi dari sebuah klub fotografi, di mana semua anggota klub adalah mantan alumni murid dari salah satu Guru Fotografi terbaik di Indonesia, Bapak Kumara Prasetya, yang mengajar dengan penuh kesabaran di Canon School.

Perkumpulan dengan berbagai macam teman dari aneka kalangan dan profesi, tapi minat yang sama untuk fotografi dan kegiatan outdoor. Sehingga pada awal 2012, menjelang persiapan pensiun dari beberapa teman, ada ide dari Pak Yusuf Paulus (Yupa) untuk memulai hobi yang lebih sehat dengan bersepeda gunung dengan beberapa sahabat untuk bersepeda di sekitar Bintaro (Sirkuit JPG), BSD, Cibubur atau pun langsung ke menjajal trek NuRa atau Telaga Warna. Kebetulan tren bersepeda gunung pada masa itu sedang bangkit lagi.

"Dime Con Quién Andas y Te Diré Quien Eres"

"Teman-teman terdekatmu adalah cerminan pribadimu”. Walaupun usia klub sepeda Dungdung itu baru 10 tahunan, tapi persahabatan kami melampaui itu.Pertemanan di dunia nyata maupun dunia maya, sehingga Sebagian besar frekuensi atu topik pembicaraan yang hampir nyambung, lelucon-lelucon garing pun walau di dunia maya, sudah terasa yang kadang terdengar janggal bagi kalangan di luar klub ini. Baik itu di dunia maya berupa pergaulan di situs Fotografer dot net yang diasuh sahabat kami, Bung Kristupa Saragih (alm) Bersama Bung Valens Riyadi atau komunitas bersepeda Kompas yang gencar mengenalkan keindahan pesona alam Indonesia dan budaya-nya melalui “Jelajah Kompas”

Tapi sebelum terlalu jauh dalam memberikan prolog, kita kembali ke rasa pegal yang nyaris membuat keram otot paha dan betis itu. Hingga bahkan pak Yupa sempat mengatakan, ada baiknya sekarang kita belajar untuk bersepeda lebih pelan. Bukan berarti kami dahulu adalah “Speed Demon” atau “Long Distance Addict”, tapi lebih mengarah bahwa kecepatan rata-rata kami dahulu hanya 20 km/jam dan sekarang kami coba turunkan jadi 15 km/jam. 

Menurut pak Yupa, jika kita belajar bersepeda lebih pelan, tentu akan konsisten dan kemungkinan untuk finish sesuai rencana akan lebih besar. Karena kami ingin belajar dari pengalaman-pengalaman lalu, kadang target kota tidak tercapai karena terlalu jauh, atau kondisi badan yang kurang fit sehingga perjalanan sedikit terganggu. “Karena seni dari kemenangan adalah belajar dari kekalahan”

El Arte de Vencer se Aprende en las Derrotas

Dan perjalanan hari pertama berhasil kami lakukan dengan baik hingga di Pantai Medewi, sebelum kami mencoba melanjutkan perjalanan esok harinya untuk ke Banyuwangi dan ke Taman Nasional Baluran, tepat di batas barat administrasi kabupaten Banyuwangi. Namun kembali dengan medan yang cukup berbukit di Kawasan Taman nasional Bali Barat setelah melahap tanjakan halus menuju kota Negara, membuat pegal-pegal otot saya. Sepertinya latihan bersepeda 20 km sambil mencari sarapan nasi ayam itu, kurang ampuh. Namun hiburan untuk makan siang Ayam Tutu Men Tempeh di terminal bis Gilimanuk menjadi pelipur lara.

Persahabatan yang melampaui waktu di Medewi. Dokpri
Persahabatan yang melampaui waktu di Medewi. Dokpri
Setelah melewati proses pembelian tiket online, mekanisme pembelian tiket yang baru di era pandemi ini serta validasi test antigen yang kami lakukan sebelumnya di Kota negara, maka kami berada dalam penyebrangan kapal ferry menuju Ketapang, Banyuwangi. Namun tak dinyana, hujan badai yang cukup deras menyertai penyebrangan ini dan belum reda hingga kami keluar dari Pelabuhan Ketapang. 

Kemudian diputuskan untuk menggunakan angkot untuk mengantar kami ke homestay Bima yang berada di sebelah timur Taman Nasional Baluran. Keputusan yang diambil mengingat standard keamanan bersepeda yang cukup riskan ketika hujan masih berlangsung dan waktu yang sudah cukup mepet dengan senja hari. Sama halnya ketika melihat bahwa seekor burung di tangan jauh lebih baik dibanding 2 ekor burung di semak-semak. Lebih baik konservatif terhadap risiko, dibanding mengambil risiko-risiko yang yang mungkin lebih tinggi jika dijalani.

Mas Vale Pájaro en Mano Que Cien Volando

Kemudian keesokan hari, jauh lebih menarik ketika mulai menjelajah 32 km pulang pergi di dalam Taman Nasional Baluran untuk menikmati Kawasan evergreen, savana Bekol hingga pantai Bama. Keindahan panorama savana Bekol dengan latar belakang gunung Baluran menjadi sangat menarik untuk difoto di pagi hari. Belum lagi hamparan pasir putih di Pantai Bama yang cukup menyejukkan hati untuk dinikmati bersama gerombolan kera abu-abu yang cukup banyak ada di pantai ini dan dalam kawasan hutan mangrove-nya.

Perjalanan bersepeda kembali ke Kota Banyuwangi kembali kami lanjutkan tepat sebelum makan siang, walaupun akhirnya perjalanan sore itu dilalui dengan berhujan-hujanan. Namun dengan jangka waktu tersisa yang cukup banyak 4-5 jam, masih cukup memadai untuk melintasi Watu Dodol dan Pelabuhan Ketapang hingga tiba di Hotel Mirah sebagai tempat menginap. Dan itu menjadi penanda berakhirnya perjalanan bersepeda kami dan akan dilanjutkan dengan trekking ke Kawah Ijen dan menjelajahi Taman Nasional Alas Purwo serta melihat keindahan Pantai Pulau merah selanjutnya.

Taman Nasional Baluran di pagi hari. Dokpri
Taman Nasional Baluran di pagi hari. Dokpri
Perhitungan yang sedikit berbeda dari sebelumnya, karena risiko yang ada lebih kecil karena masih memiliki waktu yang lebih panjang dalam bersepeda, walaupun intensitas hujan sama besar dengan kemaren. Yang menurut penduduk lokal sih, karena tidak adanya aktivitas bongkar muat pupuk atau semen di Pelabuhan Ketapang, sehingga cuaca dibiarkan tetap hujan. “karena orang yang tidak mengambil risiko, tidak akan mendapatkan apa-apa”

El Que No Arriesga, No Gana 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun