Mohon tunggu...
Agung S Rohutomo
Agung S Rohutomo Mohon Tunggu... lainnya -

ngerti nobita kan? seperti dialah aku ini.. hehehe

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cahaya Hidupku

18 Januari 2011   06:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga hari ini akan menjadi salah satu hari terindah yang pernah aku alami


Jantungku berdegup kencang ketika tangan dokter Irfan perlahan-lahan membuka perban yang sudah seminggu ini senantiasa menutup kedua bola mataku. Mata ini masih terpejam, tapi aku bisa melihat sesuatu.. cahaya? Apa ini yang namanya cahaya?

"Silakan buka matamu, Putri."

Perlahan-lahan aku mulai membuka mataku. Terang sekali.
Siapa orang di depanku ini? Aku menatap orang berkaca mata itu lekat-lekat.

"Dokter... Irfan."
"Iya Putri." dia tersenyum sambil mengulurkan tangannya padaku. "Selamat ya, sekarang kamu sudah bisa melihat."
Aku menjabat tangannya, "Terima kasih, dokter."

Alhamdulillah, terima kasih ya Allah karena kau telah memberikan anugerah terindah yang belum pernah aku rasakan sejak aku lahir di dunia ini. Aku benar-benar beruntung karena dipilih oleh dokter Irfan sebagai penerima donor mata dari istrinya yang belum lama meninggal karena penyakitnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, beliau sempat berpesan pada dokter Irfan agar kedua bola matanya di donorkan pada orang yang tidak bisa melihat. Karena itulah beliau mengoperasi dan menyembuhkan mataku yang tidak bisa melihat sejak lahir. Sebelum bertemu dengan dokter Irfan, aku hanyalah salah satu anak yang menghuni panti asuhan Pelangi. Aku ditinggalkan di depan pintu panti asuhan oleh ibuku ketika aku masih berumur bulanan. Ibu Kasih, penjaga dan pengurus panti asuhan merawat kami anak-anak panti dengan penuh kasih sayang bagaikan merawat anaknya sendiri.

Sudah seminggu aku tinggal bersama dokter Irfan tapi aku belum juga terbiasa memanggil dokter Irfan dengan sebutan ayah. Dokter Irfan begitu menyayangiku. Aku menghabiskan hariku bersama Bi Ijah kalau dokter Irfan belum pulang. Aku selalu bertanya tentang segala sesuatu yang belum pernah aku lihat pada Bi Ijah. Sore itu aku dan Bi Ijah menunggu dokter Irfan pulang sambil bermain-main di kebun depan.

"Itu apa Bi?" aku menunjuk pada serangga yang terbang diantara bunga-bunga.
"Itu namanya kupu-kupu non."
"Cantik ya Bi."
"Iya, cantik kayak non Putri."

Tak lama kemudian dokter Irfan pun sudah tiba di rumah. Saat makan malam dokter Irfan bertanya, apa aku senang tinggal bersamanya? Tentu saja aku senang. Beliau mengajakku untuk main ke panti besok pagi. Aku yang kini sudah bisa melihat tentu amat senang main kesana.

Aku begitu terharu hingga air mataku menetes begitu saja saat melihat sendiri seperti apakah bentuk dari tempat aku dibesarkan selama ini. Kini aku tau wajah dari teman-temanku anak panti, biasanya aku hanya mengenal mereka dari suaranya. Selama disana aku melihat dokter Irfan sedang berbicara dengan Ibu Kasih sedangkan aku sendiri asyik bermain dengan teman-teman. Waktu terasa begitu cepat disini hingga aku lupa bahwa hari sudah siang. Sebelum berpamitan dengan teman-teman Ibu Kasih menasihatiku agar aku tidak nakal di rumah dan mulai menganggap dokter Irfan sebagai Ayahku sendiri. Aku yang merenungkan kembali perkataan Bu Kasih mulai mencoba memanggil dokter Irfan, Ayah. Pertama kali mendengarku memanggilnya Ayah, beliau tampak begitu senang bahkan langsung memberiku hadiah es krim coklat kesukaanku. Ayah mulai merencanakan masa depanku dengan menyekolahkanku. Beliau memilih home school terbaik untukku. Tiada yang pernah dilewatkan Ayah begitu saja tentang perkembanganku. Dia ingin hidupku penuh dengan kebahagiaan. Aku benar-benar bersyukur memiliki Ayah seperti dokter Irfan, beliau adalah cahaya penerang dalam hidupku.

Tuhan selalu memberikan yang terbaik pada setiap hambaNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun