Mohon tunggu...
Fathoni  Ashari
Fathoni Ashari Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suka dengan desain grafis, edit foto, video, oprek seputar komputer dan menulis, walaupun semuanya masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup di Zaman Anak-anak Suka Sinetron daripada Kartun

24 September 2016   05:35 Diperbarui: 24 September 2016   09:35 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris melihat anak SD sekarang yang sudah mengenal pacaran, gandengan tangan sampai berciuman dengan teman lawan jenisnya. Anak SD mulai nongkrong bareng yang banyak di isi dengan kegiatan negatif misal merokok, main kartu judi sampai mengkonsumsi miras.

Mungkin kedengaranya terlalu frontal di telinga kita, apa iya anak SD sampai segitunya? Tak jarang saya menemukan segerombolan anak SD pulang sekolah yang nongkrong di pos ronda, biasanya anak SD Laki-laki yang duduk di kelas 4-6. Banyak dari mereka merokok dengan santainya sambil bermain kartu uno, remi, atau ketika berada di warung yang menujual rokok, tak jarang pembelinya adalah anak-anak di bawah umur.

Saya pernah berbincang-bincang dengan anak SD Laki-laki di tongkrongan pos ronda. Banyak informasi yang bisa saya gali dari anak SD tersebut. Alasan Anak SD pilih nongkrong daripada langsung pulang kerumah karena mereka pengen kumpul bersama teman temanya dan agar tidak di suruh membantu orangtua ketika di rumah. Mereka asik bermain kartu sambil merokok walaupun hanya beberapa anak, ada juga yang sibuk dengan handponenya. Bahkan handphone yang mereka miliki termasuk canggih yang mewakili semua fitur/smartphone yang ada sekarang.

Ketika saya menanyakan kebiasaan di rumah, banyak jawaban mereka yang berbeda beda. Ada yang suka nonton TV, main playstation, dan bermain gadget. Pada jam belajar masyarakat (19.00-21.00), mereka hanya mengerjakan PR yang di berikan, itupun kalau mereka bisa mengerjakan. Selebihnya mereka memilih menonton acara sinetron sampai malam.

Begitu pula dengan anak SD perempuan, mereka lebih senang menonton sinetron yang biasa di tonton oleh orangtuanya. Bahkan mereka hafal jam tayang hingga tokoh sampai cerita sinetron tersebut. Karena maksud tulisan saya membahas tentang tontonan kartun, maka saya mulai bertanya dengan tontonan kartun kepada mereka.

Betapa terkejutnya saya, ketika bertanya tontonan kartun kepada mereka. Saya menanyakan beberapa kartun atau anime terkenal seperti Doraemon, Crayon Shin-Chan, Spongebob Squarepants, Naruto, Dragon Ball, dan banyak lainnya. Sebagian anak laki laki mengaku hanya sekedar tahu dan tidak mengikuti. Tokohnya saja tidak tahu apalagi ceritanya. Begitu pula anak SD perempuan yang juga hanya sekedar tahu judul, tapi jarang sekali untuk menonton.

Muncul di benak saya, sebenarnya apa yang mereka tonton di TV, apa hanya acara sinetron, infotainment dan lainya. Mengapa tontonan anak-anak seperti kartun malah jarang sekali mereka tonton. Sangat bertolak belakang dengan apa yang saya alami waktu TK dan SD, yang bisa di bilang tiada hari tanpa acara kartun atau anime.

Saya kembali menggali informasi dari mereka, saya menanyakan mengapa mereka suka menonton sinetron. Laki–laki lebih suka sinetron anak muda dengan geng motor yang tokoh utamanya si boy dan beberapa sinetron hero dari luar negri yang sudah di dub Indonesia. Karena menurut mereka ceritnya seru dan menarik saat adegan balapan atau berantem. Begitu pula anak perempuan biasanya menonton sinetron bersama ibunya, yang mereka tonton biasanya sinetron menceritakan kehidupan keluarga yang penuh konflik masalah. Dan mereka tidak mau ketinggalan cerita sinetron tersebut, karena di sekolah mereka akan membahas lagi apa yang mereka tonton di episode sebelumnya bersama teman temanya.

Yang jadi pertanyaan adalah, apakah layak anak-anak SD mendapat tontonan seperti itu? Sebenanya apa yang salah dengan tontonan itu untuk anak SD. Apa dampak yang timbul dan apa yang musti kita lakukan, mari kita bahas.


Anak SD yang masih berumur 6-13 tahun, sangat terlalu dini untuk menonton acara sinetron. Umur yang sedemikian itu seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membentuk karakter anak. Yang semestinya diperlihatkan dengan tontonan yang edukatif, tapi semua itu hampir tidak relevan dengan acara sinetron yang ada di televisi. Hampir di semua sinetron Indonesia menampilkan masalah yang kompleks dan berkelanjutan. Biasanya masalah rumah tangga atau percintaan anak muda, yang semua itu jelas tidak cocok untuk tontonan anak SD.


Bagaimana dengan kartun sebagai tontonan anak-anak?

kartun yang pernah tayang di indonesia memang untuk tontonan anak-anak, disajikan dalam animasi yang menarik interaktif. Selain itu banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik, mulai dari cerita yang inspiratif, mengajarkan betapa pentingnya persahabatan dan pertemanan sampai mengajari kita untuk pantang menyerah. Bahkan banyak sekali pesan yang tersirat di dalam kartun tersebut. akan lebih baik jika anak-anak menonton kartun yang lebih banyak pelajaranya daripada menonton sinetron.

tidak sedikit orang di buat nostalgia hanya karena mengingat atau melihat tayangan ulang kartun yang ia tonton pada masa kecilnya. Karena memang masa anak-anak lebih cepat untuk mengingat sesuatu yang ia lihat. Mumpung daya ingat masih bagus, tidak semestinya  diperlihatkan  dengan tontonan yang tidak sesuai umurnya. Tontonan yang sesuai umurnya dan salah satunya adalah kartun, tapi sekarang tontonan kartun sangat sedikit di banding beberapa tahun yang lalu. Ini juga menjadi salah satu yang di sayangkan dari tayangan kartun.

Apa dampak yang terjadi karena pengaruh tontonan yang tidak sesuai umurnya?

Jika anak-anak menonton tayangan sinetron yang penuh konflik, maka yang tergambar dalam ingatanya adalah konflik dan masalah tersebut, yang mungkin di tiru dan di tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh ketika anak melihat seorang ibu-ibu yang dalam peranya suka marah-marah, maka tidak menutup kemungkinan si anak akan meniru kebiasaan marah-marah ibu tersebut. begitu pula adegan percintaan yang ada di sinetron, mulai dari jalan bareng, gandengan tangan, berpelukan sampai berciuman. Itu bisa memicu pendewasaan dini, yang artinya dewasa sebelum waktunya. dan pada akhirnya dari kecil sudah tertanam kebiasaan yang salah, mungkin bisa dibawa hingga ia dewasa.

Lalu, Upaya apa yang bisa kita lakukan? 

Upaya yang bisa kita lakukan, setidaknya untuk meminimalisir dampak tersebut antara lain pilihlah tontonan pada tayangan TV yang cocok sesuai umurnya, bisa kita arahkan ke tontonan anak-anak semisal kartun atau acara petualangan anak-anak atau acara edukasi lainnya. tidak mengajak anak-anak ketika menonton tayangan yang seharusnya tidak di tonton oleh anak-anak tersebut, seperti sinetron, infotainment. Dan terus awasi ketika si kecil menonton televisi. 

mungkin sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan mohon maaf jika tedapat kesalahan, terimakasih.

#JURNALISTIKUINJOGJA2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun