Mohon tunggu...
Awan Kinton
Awan Kinton Mohon Tunggu... -

Ada mereka yang mencari kebenaran, ada mereka yang mencari pembenaran.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menulis di "Kompasiana" Tidak Berguna

23 Desember 2009   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya apa yang kita harapkan dari menulis di Kompasiana ini? Itu adalah pertanyaan yang menahan tanganku, ketika aku mau menekan tombol-tombol papan tulis ini. Itu harus terjawab ketika tulisan ini sudah tersiarkan, dan kalau belum aku akan terus mencarinya tersurat, maupun tersirat. Kalau ketemu itu jawaban, tidak aku malas menulis lagi! Kenapa, nanti ada pendapatku untuk itu.

Sokrates tidak menuliskan buah pikirannya tentang manusia. Abad ke-6 (enam) SM manusia yang mengaku sering mendapatkan mimpi-mimpi benar ala seorang nabi hanya mengutarakan pemikirannya kepada khalayak Yunani dengan menggunakan metode aneh! Tahukah kau apa metode aneh itu? Metode itu bernama metode bidan! Aku sebenarnya ingin sekali menertawai metode yang dinamai manusia gendut itu, tapi tertawaanku ini tertahan di antara diagframa jiwa dan kebenaran.

"Sokrates amat menyayangi ibunya!" ujar kawanku ketika ku sedang membaca buku sendiri.

"Apa hubungannya?" tanya ku kembali

Jawabnya terdiam, "Ibunya Sokrates itu adalah seorang bidan, kerjanya setiap waktu menolong manusia yang sedang mengandung!"

Yah... Percakapan itu terus berlangsung antara aku dan kawanku aku selama itu. Mungkin benar kata seorang pelawak ternama di Indonesia, dia pemeran Kabayan di tahun yang lampau, aku lupa nama aslinya. Katanya begini lebih kurang, "Kau jangan malu meniru-niru sesuatu, apabila orang memakan nasi, lalu kau tiru apakah itu salah?" Pertanyaan ini menjadi retoris, padahal aslinya verbal biasa. Itu mengenai ada seseorang yang mengikuti gaya Bapak 'Kabayan" itu dalam melawak. Pikirku itu ada benar dan ada salah! Sokrates dan kita yang menulis di Kompasiana itu juga begitu!

Kepada yang terhormat para Psikolog dunia, aku sangat berterima kasih karena kalian telah mengeluarkan teori untukku memberikan pendapat tentang itu.

Teori asimilasi dan akulturasi yang telah dikeluarkan oleh salah seorang yang kuberkan terimakasih, sedikitnya menjawab apa yang telah Sokrates dkk lakukan. Secara gamblang, manusia itu suka menciri manusia lain untuk kepentingan diri mereka. Kepentingan yang ada hubungannya dengan eksistensi mereka, baik ekonomi maupun tingkat sosial.

Peniru Kabayan ekonomi, Sokrates mungkin sedikit sosial.

Plato saja sangat kesulitan dalam upayanya mendapatkan teks asli yang dicipta Sokrates. Lalu ia dengan sangat lancang menuliskan dialog atas nama gurunya, Sokrates. Padahal dialog-dialog yang Plato tulis bukan sepenuhnya apa yang keluar dari mulut Sokrates. Karena Sokrates tidak menulis!

Bagi Sokrates tulisan itu tidak penting, mungkin. Atau kalau Sokrates menulis, tulisan itu ia anggap dimanfaatkan bagi sebagian kelompok untuk keuntungan yang sedikit, padahal ia anti terhadap keuntungan yang banyak, apalagi jelas-jelas sedikit.

Sokrates adalah manusia yang beridealsime tinggi, karena itu ia bermusuhan dengan pada Sofi.

Apa-apa yang membuat manusia kehilangan kecintaannya kepada manusia dan polis, ia tentang, mungkin seperti Bung Karno ketika revolusi dulu. Uang adalah satu pisau yang bermata dua. Satunya dapat membunuh kemiskinan, yang lain memiskinkan. Sofis dengan kecerdasannya menjual jiwa, kata Sokrates.

Lalu untuk apa kita menulis di sini? Kalau Andrea Hirata tahu, mungkin ia lebih memilih naskah Laskar Pelanginya dipublikasikan di Kompasiana, karena kabarnya ia tak pernah menyangka tulisannya dapat menjadi seperti sekarang ini.

Ada keanehan dalam diri manusia sekarang. Di satu sisi dia ingin mendapatkan keuntungan dari pekerjaan, satu sisi ia adalah seorang penderma sejati. Pikirku lagi, ini bukan keanehan, bahkan degradasi kebutuhan.

Kalau Sokrates jelas-jelas tidak mencari keuntungan atas dakwahnya itu, melainkan agar manusia-manusia dapat berpikir secara dialektis tentang kehidupan ini. Ia utuh. Peniru Kabayan menginginkan ekonomi yang baik, itu utuh juga! Sementara kita yang sempat menghabiskan berjam-jam duduk di depan kaca hanya untuk membuang waktu, padahal di tempat nyata kita pencari uang yang rakus!

Atau Kompas sedang memanfaatkan kita dengan manipulasi kepopuleran, atau tingkat sosial? Hai Kompas jawablah! Ketika kau ada di kertas kau menjadi pioneer kemanusiaan, sementara di sini kau memakan manusia, padahal kau manusia? Kalau begitu buatlah sistem di Kompasiana ini, tulisan yang berbayar dan tulisan sumbangan, seperti Shvoong yang berbayar itu, atau Blogspot atau dagdigdug.

Ada 2 (dua) tipe tulisan di sini, artikel dan laporan. Ada 13 Kategori, 4 (empat) sub kategori. Dan kita diberikan tempat kerja sendiri.

Jurnalisme warga ya? Habermas? Komunikasi? Itu yang lalu aku pikirkan. Tapi tetap sajalah Kompasiana, tidak realistis menyuruh manusia, secara menyenangkan, membuang-buang waktu di sini, tanpa uang!

Kalau untuk melemparkan buah pikiran atau ceramah kepada khalayak cukuplah blog lain, atau surat kabar menjadi media kita. Kompasiana ini tidak berguna, karena ada banyak tempat lain untuk itu.

Sekali lagi, "Atau Kompas sedang memanfaatkan kita dengan manipulasi kepopuleran, atau tingkat sosial? Hai Kompas jawablah! Ketika kau ada di kertas kau menjadi pioneer kemanusiaan, sementara di sini kau memakan manusia, padahal kau manusia?" Aku jadi teringat kisah Napoleon Bonaparte kepada anak buahnya. Ia memberikan sebentuk tanda jasa kepada seorang prajurit, tanda saja pembohong yang tidak bisa mnegganti nyawanya untuk itu!

Sama seperi Kompasiana!

Mengutip Marx sebelum ia mati berpikir, lebih kurang, "Jangan berkata cukup bagi seseorang yang merasa sudah cukup!" Dan tulisan ini belum cukup membongkar ketidakbergunaan menulis di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun