Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Datuk Tabroni

3 Agustus 2021   12:47 Diperbarui: 3 Agustus 2021   13:08 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesampainya di lokasi, Wati diturunkan dari arak-arakan. Ia masih memegang nampan berisi roti kelung tadi. Kini para lelaki yang tadi mengantar, termasuk ayahnya, tidak bisa ikut. Hanya Datuk Tabroni dan Wati lah yang akan menyelesaikan ritual ini. Mula-mula Wati diminta untuk tenggelam selama 7 kali ke dalam air yang telah disebarkan kembang-kembang. Setiap tenggelam ia harus berhitung sebanyak tujuh kali, begitu terus hingga tenggelamnya yang terakhir. 

Sambil memperhatikan, Datuk Tabroni akan membacakan mantra, melecut-lecutkan 7 lidi yang telah diikat dengan kain khusus berwarna hitam. Aneh bukan kepalang, dari timbul tenggelamnya Wati dari awal, bekas-bekas gatal yang ada di tubuhnya sedikit demi sedikit hilang. Hingga di bagian terakhir, Wati merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Tidak ada rasa gatal dan bebauan aneh, yang terasa hanya kulitnya kembali mulus seperti sedia kala.

Alangkah senang hati Wati, rasanya ia ingin teriak. Tetapi sejak awal Datuk Tabroni telah mewanti-wanti dia untuk tidak mengeluarkan suara apapun, hingga ia kembali menginjakkan kaki di rumahnya. Jika ia melanggar, ritual makan kelung yang ia jalani bisa saja gagal. Setelah itu, barulah Wati melempar 7 roti kelung itu ke berbagai sudut yang ditunjuk oleh datuk Tabroni. Barulah, inti ritual ini dijalankan. Wati tak pernah menduga, bahwa ritual pengobatan ini akan berbekas pada ingatannya kelak. Datuk Tabroni memegang tangan Wati, ditelusurinya setiap bagian tubuh gadis itu. 

Dibukanya sehelai kain basah yang menutupi tubuh Wati. Kini tak hanya tangan, ada persilangan paling rahasia yang terjadi dalam air laut yang hanya bisa dirasakan keduanya. Gelap yang menutup semua mata orang-orang, namun, perasaan menjelajah terlalu menggairahkan bagi Datuk Tabroni. Wati ingin teriak, ia merasa jijik. Namun, ia ingat kembali kata-kata ibunya untuk tidak berbicara sepatah kata, apapun yang dihadapi. Dalam pikiran Wati, ia kini paham mengapa ibunya terlihat sangat hancur sejak saat ia melangkahkan kaki diatas arak-arakan itu.

Wati mencoba memejamkan matanya, ia membayangkan hari-harinya yang akan datang. Ratapan, penyesalan, dan ketidakberterimaan. Ia merasakan betul setiap sentuhan Datuk Tabroni, orang yang sangat dihormati di kampung ini, menjadi penolong bagi mereka yang kesusahan namun ternyata tidak lebih hina dari binatang. Entah kekuatan apa yang hadir dalam diri Wati saat itu, seperti ada yang mendorongnya, semakin lama semakin kuat. Wati lalu menerjang tubuh datuk Tabroni yang menghimpitnya. Sambil menangis ia berteriak.

"Anjing"

"Bangsat"

Wati meraih kainnya dan bergegas lari. Ia menghilang di dalam kelam malam ke arah berlawanan dari rombongan yang tadi mengantarnya, ia pergi ke dalam hening yang paling sunyi. Ia pergi untuk kesembuhan yang abadi.

*Makan kelung, sebuah tradisi pengobatan di Mendahara, Tanjab Timur yang sudah jarang ditemui.

*Cempakul, ikan-ikan di perairan mangrove yang tidak bisa dimakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun