Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Datuk Tabroni

3 Agustus 2021   12:47 Diperbarui: 3 Agustus 2021   13:08 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mak, gatal" 

"Sabar ya nak, sebentar lagi datuk akan membantu, kita tunggu hingga tengah malam ya, nak"

Orang-orang hanya menaruh iba pada Wati, jelas sekali mereka ingin membantu menguatkan Wati, ingin berkata bahwa Wati akan baik-baik saja. Apalagi yang akan membantunya adalah orang yang biasa membantu banyak orang. Namun, ini pantangannya. Semua yang datang hari itu telah diberi tahu oleh Datuk agar tidak meratap, tidak memperlihatkan kesedihan, lebih baik untuk diam tanpa saja sambil berdoa dalam hati agar segala sakit cepat diangkat yang maha kuasa. Orang-orang menurut saja apa kata datuk, takut hal yang tidak diinginkan terjadi.

Malam itu, beberapa orang laki-laki peruh baya membantu ayah Wati menyiapkan segala sesuatunya. Papan kayu penutup yang akan mengarak Wati, air sesajen, dan kembang tujuh warna. Sedang beberapa perempuan tua suci, yang tidak lagi mengalami mens mempersiapkan 7 butir roti kelung dan menjahit kain penutup tubuh Wati. Sudah lebih dari satu tahun, sejak Midah, perawan tua di desa ini melakukan ritual makan kelung karena tak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Kali ini, meski bentuk kiriman itu berupa penyakit kulit, warga desa tetap menyiapkan ritual seperti sebelumnya. Mereka percaya penyakit kiriman bisa berbentuk macam-macam dan tidak akan menular.

Sebisa mungkin ritual itu dilakukan diam-diam, agar anak-anak tidak mengetahui. Ritual ini tidak memperbolehkan mereka untuk ikut, karena selain pantangan, juga takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Memang tidak setiap tahun akan ada ritualnya, bahkan jarak yang paling lama hingga 10 tahun ritual ini tidak dijalankan. Waktu itu penjaganya masih Datuk Mukhtar, ayah dari Datuk Thabroni. Kemampuan untuk mengobati dengan ritual makan kelung memang selalu turun menurun kepada keluarga itu.

Konon, mendiang piyutnya adalah orang sakti se Tanjung Jabung, ia memelihara memedi siluman ular, buaya, dan harimau. Ketika perang berkecamuk, ia pernah membantu Rang Kayo Hitam melumpuhkan Belanda dengan kekuatannya lalu karena beberapa hal, ia melarikan diri ke tepi laut dan menikah dengan seorang perempuan disana. Inilah yang kelak menjadi cikal bakal desa Mendahara, hingga berbagai orang berdatangan dan membentuk satu desa. Ia mengabdi dengan menjaga desa itu dari hal-hal diluar nalar, kemampuan itupun diturunkan kepada keturunannya.

"Sudah siap" 

Nek Lija yang sejak tadi asyik mencampurkan kembang dengan mulut yang tidak berhenti berkomat-kamit, menyentuh bahu Mina. Yang disentuh hanya manggut-manggut saja. Matanya tak pernah berpaling dari anaknya yang sedari tadi tertidur pulas. Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Di depan rumah, para lelaki sudah siap membopong Wati diatas kayu yang tadi mereka kerjakan. Kerangka kayu itu kini telah dihias kain berwarna warni dengan untaian kembang melati yang dijalin-jalin. 

Dengan berat hati Mina membangunkan putrinya. Kulit Wati yang kemerahan kini telah menggosong, muncul bulatan-bulatan kecil berwarna putih berisi nanah. Bau anyir mengetuk hidung siapa saja yang lewat didepan rumah itu. Perlahan namun pasti, Wati membuka matanya. Seperti tak punya pilihan lain, Wati melangkahkan kakinya dengan berat. Ia memakai kain yang tadi telah dijahit oleh ibu-ibu sebatas dada hingga lututnya. Terlihat jelas bekas garukan tangan Wati disekujur tubuhnya yang kini sudah berbentuk garis-garis kehitaman.

Dengan hati-hati ia melangkah mengikuti anjuran Datuk Tabroni. Ia duduk dalam sepetak kayu yang dibuat khusus oleh para lelaki tadi. Sampai disini, para perempuan termasuk ibu Wati tidak bisa ikut dalam ritual ini. Hanya beberapa orang lelaki dan Datuk Tabroni yang akan mengantar hingga ke laut. Diatas pangkuan Wati, sudah ada nampan berisi 7 roti bulat yang di kelung, terbuat dari tepung beras dengan inti kelapa parut dan gula merah. Roti-roti ini akan diberikan pada makhluk penjaga laut sebagai pengganti penyakit yang diderita Wati.

Sunyi tengah malam,  sesekali pembacaan serapah Datuk Tabroni dan langkah-langkah kaki para lelaki yang membawa Wati yang terdengar. Jika tidak karena Ibunya, Wati sebenarnya enggan melakukan semua ini. Hanya temaram bulan dan Tuhan yang tahu apa yang ada dalam kepalanya. Sepanjang jalan Mendahara, bau-bau ikan asin, kucing jalanan, dan debur ombak menambah dingin malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun