Suaidah melihat sekeliling, bantal, kasur dan selimut utuh. Namun, ibunya tak ada disana. "Mak, Mak, Mak dimano" panggil Suaidah. Berkali-kali ia memanggil, mencari ke teras dan dapur, namun ibunya tak juga ia temukan.
Perlahan, hangat memenuhi mukanya. Air matanya menetes satu persatu. Tampak jelas, jatuh di atas lantai papan kayu yang kini telah berwarna kekuningan. Sebentar, ada yang aneh dari air mata yang jatuh itu.
Tetes demi tetes ya jatuh dan berkumpul di satu tempat, membentuk genangan yang cukup besar. Suaidah terkejut, kaki-kakinya mundur ke belakang. Dengan jelas, sangat jelas, genangan itu naik perlahan, membentuk sosok yang aneh.
"Tidak, tidak, ini dak mungkin" tangis Suaidah pecah saat itu. Gumpalan air itu lalu membentuk sangat jelas, perempuan yang selama ini ia panggil dengan sebutan emak.
"Bagi tau Sumirah, berikan haknya, warisannya" kata makhluk itu pelan sambil memandang dengan tatapan dingin.
Sebenarnya Sumirah tahu betul, dia bisa melihat dengan jelas setiap penderitaan Saijah, tapi ia kepalang sakit hati, sebab dalam pikirannya, warisan tak pernah bersaudara.
Kaki-kaki Suaidah yang mungil sudah pegal berdiri, ia izin meninggalkan ibu-ibu yang sedang bergerombol di depannya. Langkah kakinya begitu ringan, tapi tetap saja mulutnya berat untuk mengatakan pesan itu pada Sumirah.