Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan hari musik Nasional. Aku ingat ketika pertama kali Bang Pono mengajakku nonton konser sebuah perayaan hari musik di lapangan bandara lama Sultan Thaha. Dengan menggunakan motor Vespanya yang berwarna abu-abu, kami mengintari jalanan kota Jambi.
Semua tentang tukang mie ayam keliling di depan taman anggrek, penjual cilok di tugu keris Siginjai, hingga lapak baca di depan taman remaja yang menambah sederet alasan perjalanan romantis kami kala itu.
Suasana malam dan jalanan kota yang cukup ramai mengantarkan kami pada lokasi yang dituju. Tampak betul bulan dan bintang menyapa kami sambil tersenyum. Barangkali itu salah satu malam yang paling indah yang pernah kami berdua lalui.
"Dik, nanti jika kita sudah menikah, aku akan mengajakmu ke tempat yang lebih indah di kota ini" katanya sambil menyodorkan air mineral saat kami tiba di dekat parkiran.
"Tak usah kau berjanji, bang. Ini sudah cukup buatku" ucapku pelan sambil menghindari orang-orang yang lewat di samping kami.
"Dasar perempuan, berkata tidak tapi wajahnya tersenyum dan didalam hati berkata iya" sambungnya.
Aku terkesiap. Bang Pono seperti bisa membaca pikiranku dengan jelas. Perlahan ia pegang erat tangan kananku, kami berjalan gontai melewati keramaian di depan panggung utama. Konser itu berjalan meriah, orang-orang tampak asyik ikut bernyanyi, mengangkat tangan, serta bersenandung.
Aku dan Bang Pono juga tak jauh berbeda. Ketika artis ibukota itu mengajak penonton bernyanyi, kami juga ikut bernyanyi. Ia seperti menjagaku sepenuh hati, seperti adik, saudara perempuannya atau bahkan seperti ibunya sendiri.
Belum konser itu selesai, Bang Pono menjawilku. Ia ajak aku keluar dari kerumunan itu. Kami menepi di sebuah sudut yang cukup gelap. Ia menyuruhku untuk duduk di sebuah kursi plastik, lalu ia pergi dan kembali membawa satu wadah plastik  berisi kacang rebus. Kami menikmati kacang rebus dengan pemandangan konser yang makin bertambah gegap.
Padang kulit kacang yang kesekian, barulah bang Pono memasang wajah serius. Ia mendeham, seakan kami akan menyudahi hubungan ini.
"Abang akan memberitahu semuanya, dik"
"Apa itu bang? Bukankah selama ini kau selalu jujur padaku?" Dadaku tiba-tiba sesak, ada yang tertahan, tapi aku tidak bisa mengatakannya.
"Kita tidak pernah benar-benar saling mengenal dik"
"Apakah 5 tahun adalah waktu yang singkat untuk kita saling mengenal, bang? Bukankah keluarga kita sudah saling mengenal? Bahkan aku sering berkunjung kerumah mu diam-diam" ada hangat yang tiba-tiba muncul dibawah mataku.
Mas Pono diam. Tatapannya lurus kedepan. Seperti ada yang mengganggu dirinya, ia menggerak-gerakkan wajah. Alunan musik pop dari panggung konser didepan kami berubah menjadi musik yang tak ku kenal genrenya.
Sekejap kemudian, bang Pono maju beberapa langkah. Ia lalu membuat gerakan-gerakan aneh, semakin cepat dan tak menentu. Tangan seperti hendak mencakar siapapun, ia duduk menyerupai harimau, gigi-giginya ia keluarkan sedang rahang bagian bawah mundur ke dalam. Aku seperti tidak mengenal dirinya saat ini. Ku tutup mataku dengan kedua telapak tangan, seakan ada suara yang mengetuk masuk kedalam telingaku.
Dalam hati kukatakan, "ya bang, kita memang tidak pernah saling mengenal"
Anggota tim supik-supik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H