Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepergian Midah

22 Januari 2020   10:35 Diperbarui: 22 Januari 2020   10:40 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak masalah jika petuah-petuah masa lalu kita pakai hingga saat ini. bahkan ditengah kemajuan yang sangat mentereng ini, bukankah pengaruh ilmu hitam tidak pandang zaman? Buktinya Midah, anak gadis Harun dan Mardunah yang sudah satu tahun  hilang bersama Paijo, tukang ojek di kampung ini. 

Gadis putih molek bertubuh tambun itu hilang bersama keberangkatannya ke sekolah. Tanpa pertanda apa-apa, kamis itu Midah berangkat pergi ke sekolah diantarkan oleh Paijo, tukang ojek langganannya dan tak pernah pulang ke rumah setelah itu. Oleh orang-orang kampung, keganjilan itu hanya disimpulkan dengan satu hal, apalagi kalau bukan ajian pekasih.

Bukan hanya kasus Paijo, sebenarnya di kampung ini sudah tidak terbilang kejadian diluar nalar. Sakit kulit yang tak pernah sembuh yang dialami Sumi, perut  menggelembung yang diderita Kasim, gila babi yang menyerang Sarman, hingga hal-hal lain yang tak bisa dicerna. Hal-hal semacam itu yang menggerakkan kami sekeluarga atau sebagian besar masyarakat di kampung ini untuk tetap melakukan kebiasaan orang-orang tua dahulu. 

Memang kelihatannya sederhana tapi kami percaya betul cara ini mujarab untuk menghilangkan pasu, sebuah gangguan dari mahluk halus yang dikirimkan oleh orang-orang tertentu yang mengakibatkan kejadian atau penyakit yang aneh.

Setiap makan malam selesai misalnya, kami akan membuang air bekas cucian tangan keluar rumah dengan segera. Emak dalam hal ini selalu mewanti-wanti aku, sebagai anak perempuan yang selalu membereskan bekas makan kami semua.

"Hah, Tun, aek cuci tangan tu cepat dibuang keluar. Jangan dak kau buang. Tangkal pasu tu". Katanya sambil mencongkel bekas-bekas nasi yang tersangkut di gigi dengan kayu kecil yang ia congkel dari serat lemari kami yang sudah tua.

Aku bergeming. Langsung kubuang mangkuk kecil biru yang didalamnya terdapat air bercampur minyak, berwarna kemerahan serta potongan-potongan kecil cabai merah yang tidak halus digiling.

Aku pernah bertanya pada emak apakah benar membuang air bekas cucian tangan setelah makan malam dapat menolak pasu datang ke rumah kami. Emak hanya menjawab jika itu adalah kepercayaan orang tua, tidak boleh ditanyakan.

"Eh jangan nak banyak tanyo, gawekan be lah. Nyai-nyai kau dulu tu dak ado keno penyakit macam-macam, tengok kau sakit Sumi tu." Emak terus merepet panjang menjelaskan kehidupan tenteram orang-orang terdahulu yang damai dengan kebiasaan-kebiasaannya.

Berkali-kali dilain waktu  terhadap kebiasaan lain, pertanyaan ku selalu dijawab demikian, hal ini membuatku enggan  mempertanyakannnya lagi pada emak meski aku harus menyimpan sendiri pertanyaan itu. Yah... rasanya memang tidak sopan, ketika memberikan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Apalagi jika aku sudah mengetahui jawabanya.

Aku mengambil sapu ijuk yang disandarkan disela dinding dan lemari pakaian. Ada beberapa kebiasaan orang-orang tua terdahulu yang banyak kami pakai di rumah ini, semua seperti berlaku begitu saja. 

Saat musim padi misalnya, emak melarangku untuk menyapu rima, butir-butir nasi yang jatuh dari piring saat makan malam keluar rumah. Butiran nasi itu hanya boleh dikumpulkan dan dibuang pada keesokan harinya. 

Kata emak itu dilakukan agar butir-butir nasi itu tidak menangis, sehingga panen tahun depan akan tetap berhasil. Tapi karena saat ini belum masuk musim padi, aku bisa menyampu rima-rima nasi bekas makan tadi dengan leluasa.

Soal menggunting kuku pada malam hari pun menjadi persoalan. Kami juga dilarang  memotong kuku di malam hari karena ditakutkan akan mengalami sakit rudan. Anehnya emak juga tidak bisa menjelaskan apa itu sakit rudan. Jawabnya tak jauh-jauh dari pantangan orang tua terdahulu.

Sambil menata kembali mangkuk-mangkuk lauk diatas meja, samar-samar aku mendengar bapak bercerita pada emak tentang Harun. Laki-laki paruh baya yang telah kehilangan anak semata wayangnya setahun yang lalu. Bapak sering melihat Harun duduk termenung di muka rumahnya seorang diri. Tampak sekali kesedihan akibat kehilangan Midah belum lekas dari mukanya.

"Kasian nian Harun, ibarat batang tu keatas dak bepucuk ke bawah dan berakar". Katanya sambil merapikan ujung-ujung kain sarung yang sudah menggulung.

"Awak dak nengok Mardunah, musim padi dengat tu banyaklah padi yang dak berisi daripado yang berisi. Dak tentu ke tengah ke tepi lagi." Balas emak tak kalah haru. Keduanya hanyut dalam cerita kehidupan pasangan suami istri Harun dan Mardunah yang telah kehilangan anaknya Midah.

Berita tentang kehilangan Midah sebenarnya sudah disebarkan. Lewat koran maupun mulut ke mulut. Bahkan beberapa orang kampung yang memiliki sosial media mengaku telah membuat pengumuman di facebook, instagram bahkan twitter untuk memberitahu pada jagat maya. Namun hasilnya masih sama, tak ada kabar apapun tentang Midah. Entah bagaimana gadis itu sekarang.

Aku duduk tak jauh dari emak dan bapak, menyaksikan televisi yang ada dihadapan mereka. Keduanya lalu melirik sedikit kearahku, percakapan itu lalu berbelok arah padaku.

"Tun, ingat-ingat kalung pinggang kau tu jangan dilepas. Daktau di awak orang jantan kiniko, kagi awak dibuat macam Midah tu ha" kata emak tajam. Aku mendengar saja tanpa bicara apa-apa. "itu kenapo bapak letakkan tangkal kepala Ruso di ruang tamu tu, biak niat jahat orang dak jadi masuk rumah" kata bapak ikut menimpali. Aku mendengar saja, tatapan lurus pada layat televisi.

Bapak dan Emak tidak benar-benar mengetahui, sebenarnya Midah teman baik ku itu bisa pergi dengan Paijo atas bantuanku juga. Midah dan Paijo pergi karena saling mencintai, mereka tahu orang tua Midah takkan pernah setuju. Sebagai teman yang baik tentu saja aku membantu mereka, menunjukan lorong jalan yang aman untuk mereka pergi serta memberitahu kota mana yang tepat untuk mereka tinggali. Bukankah tidak ada yang bisa menghalangi cinta? Mau dibantu atau tidak, mereka pasti juga akan melakukan pelarian itu, sebagai teman aku memilih yang pertama.

Bahkan diam-diam aku juga telah melepas kalung pinggang yang dipasangkan emak diatas pinggulku, jangankan jimat kecil yang dibungkus kain hitam itu, melepaskan segenap diriku saja aku rela. Apalagi untuk akang, tukang jamu keliling yang sejak beberapa bulan lalu menjadi tetangga kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun