Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menjemput Air Mata

17 Desember 2019   20:40 Diperbarui: 18 Desember 2019   15:16 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Nak Lastri bagaimana perjalanannya tadi" calon mertua perempuanku membuka percakapan. 

"Lancar bu, cuma ada bapak-bapak yang nekat nerobos lampu merah, ibu-ibu yang ngidupin sen kanan tapi malah belok kiri sama anak-anak perempuan bonceng tiga sambil ketawa-ketiwi" ucapku lugas. Aku melihat kedua calon mertua ku bersitatap dan mengernyitkan dahi. Awal yang over kurasa.

Selanjutnya percakapan kami hanya berputar pada persoalan umum. Aku bisa menyelesaikan pertanyaannya dengan cukup baik. Rasanya jika ini ujian kuliah, nilai B+ sudah ditangan, hanya tinggal menunggu pengumuman nilai saja. Perbincangan hangat malam itu ditutup dengan makan malam, aku merasakan nikmatnya ikan goreng krutub buatan calon mertuaku. Sayangnya aku masih memiliki cukup persediaan malu malam itu hingga tak ku keluarkan sikap ajaibku, membersihkan piring dalam hitungan detik.

 Aku bersalaman dengan ayah, ibu dan adik mas Gandri, merasa cukup puas dengan pertemuan ini. Ternyata pertemuan dengan calon mertua tak sesulit yang kubayangkan. Dibawah atap kamar yang bolong dan lampu remang yang ditutupi jaring  laba-laba aku menarawang.

Gaun pengantin, rumah kecil sederhana, anak-anak yang lucu dan menggemaskan serta tentu saja mas Gandri, pangeran dari masa depan yang akan membebaskan putri sengsara bernama Sulastri dari masalah hidup yang bergelantungan.

***

Pagi harinya, embun yang basahi dedaunan, gemericik air bekas cucian piring ibu didapur serta sebuah pesan singkat di telepon genggam membuatku merangkak bangun. Ah mas Gandri, betapa romantisnya ia, selalu mengucapkan selamat pagi setiap hari.

"Lastri, melalui pesan ini mas sampaikan. Kita sudah tak berjodoh. Mas akan menikah dengan Lies, saudara jauh dari Palembang, mas harap kamu bisa bahagia."

Pesan singkat itu, menjatuhkan butiran-butiran belek di mataku. Berganti hangat yang menyeruak di pipi. Kini bukan hanya ibu yang makan berkuahkan air mata, aku juga akan menyusul dengan memanfaatkan air mata ku sebagai bilasan air cuci piring, mengepel lantai dan mencuci pakaian. 

Sepanjang hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun