"Pelan-pelan sekali" balas pohon pinang sambil menjatuhkan buahnya.
 "Cie mau ketemu mertua" giliran pohon kelapa tua yang menimpali.
 "Bibir nya pucat ya" mereka tertawa renyah sambil menahan buah-buahnya agar tak jatuh ke tanah.
sontak aku mencuri pandang pada spion motor mas Gandri. Sialan tuh pohon.Â
 "Kenapa dik, kau gugup?"
 "Ti-tidak mas, ini tadi ada cicak di bibirku"
 Mas Gandri hanya senyum-senyum mendengar jawabanku. Ia kembali fokus mengendarai sepeda motornya.
Motor mas Gandri berhenti di sudut halaman sebuah rumah. Rumah itu terlihat asri dari depan, pagar kayu yang warnanya hampir luntur itu mendekap badan rumah yang berada persis di tengahnya. Pohon sawo, pohon kelapa, dan bebungaan tersusun rapi. Rumah keluarga mas Gandri sangat bersih, teras yang tak terlalu luas itu seperti di pel dengan ampas parutan kelapa setiap hari, licin. Dari muka pintu, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun menyembul keluar dan tersenyum.
"Tih, kenalin ini mbak Lastri calon kakak ipar mu"
 "Oh ini ya mas, mbak Lastri cantik ya" Ratih, adik mas Gandri memandangku kikuk.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar percakapan mereka. Mas Gandri mempersilahkan aku masuk. Aku duduk di kursi rotan di ruang tengah. Ia lalu memanggil orang tuanya. Terbayang oleh ku calon mertua perempuan ku itu berkepala besar, berbibir merah mungil persis seperti tokoh antagonis di film alice in wonderland. Sedang calon mertua laki-laki belum sempat aku imajinasikan, Keduanya  telah duduk didepanku. Aku gelagapan, panas dingin, gemetar dan campur aduk. Aku mengepal jari-jari tanganku sendiri.