Kalau sudah musim mangga begini, sepanjang jalan di desa kami dihiasi oleh pemandangan yang  berbeda. Buah bulat hijau itu bergelayutan di ujung-ujung pohon yang terletak persis di halaman rumah-rumah warga. Ada harum khas buah mangga yang tercium saat melewati setapak jalan. Berbagai jenis mangga seperti macang, ampelam, mangga apel, mangga kampung, mangga madu, kuini, hingga arumanis ada disini. Siapa pula yang bisa tahan dengan daging buah kuning tebal dengan rasa manis itu?
Barangkali hanya Tutu, satu-satunya  yang tak suka mangga di desa ini. Orang-orang mengetahui ini dari cerita yang sepotong-sepotong. Ada yang bilang Tutu tidak menyukai mangga karena pernah terlalu banyak memakannya, ada juga yang bilang bahwa kebiasaannyaÂ
Mengocek mangga dengan mulut menyebabkan koreng di mulutnya hingga ia enggan menyentuh buah tersebut.
Tak penting sebenarnya mencari tahu apa sebab Tutu tak menyukai buah mangga, yang paling penting ialah perbuatan tak terpuji Tutu terhadap mangga-mangga warga disini. Hanya karena tidak menyukai mangga, bukan berarti Tutu bisa bebas merusak tanaman mangga milik warga. Hal ini lantas membuat warga geram, tak satupun warga membiarkan sebuah manggga molek miliknya dirusak oleh Tutu.Â
Tak ada yang memberi aba-aba tentang ini. semua berjalan begitu saja, pak RT bahkan sengaja membuatkan pengumuman di tiap pos ronda. Dibuatkannya aturan wajib jaga malam untuk beberapa orang kepala keluarga, tujuannya tak lain dan tak bukan agar Tutu tak merusak mangga-mangga milik warga!
Aku masih ingat kejadian beberapa hari lalu, malam itu terang bulan. Jika kita mendongak keatas, tampak jelas bayangan seorang ibu yang menggendong anaknya berada dalam bulan itu. sepanjang jalan kampung sepi, hanya beberapa pemuda terlihat bermain kartu di toko mang Kasim. Pemuda-pemuda itu memang sering berkumpul disana. Sambil menghisap sigaret di mulut, mereka memegangi kartu-kartu dengan tampang berpikir.Â
"Joker" ucap pemuda yang mengenakan topi.
"aduh, cantik nian kartu kau jok" ucap pemuda tambun disampingnya.
"Jangan bangga dulu, liat kartu ku ini" balas pemuda yang tak mengenakan baju.
Sedang beberapa pemuda yang lain terlihat menggaruk-garuk kepala. Entah apa yang mereka pikirkan. Tak lama setelah mereka larut dalam persaingan di dunia perkartuan, terdengar suara pak Barjo yang meringis tak jauh dari tempat mereka. Segera rombongan pemuda tadi mendatangi kediaman rumah pak Barjo. Dilihatnya pak Barjo sedang memegangi beberapa buah mangga ditangannya.
Sudah diduga, Â ini semua ulah Tutu! Tak ada habis-habisnya ia merusak mangga-mangga milik warga. Sebelum pak Barjo, mangga Pak Slamet, Pak Risdam hingga mangga milik bu Inem sudah lebih dahulu dirusaknya. Anehnya, orang-orang tak bisa menangkapnya saat sedang merusak mangga. Selalu saja, setelah Tutu berhasil merusak mangga milik warga baru kejadian itu diketahui. Seperti ada waktu-waktu tertentu yang telah direncanakan, atau memang Tutu sudah profesional melakukan hal itu.
Setelah kejadian itu, mulailah semua warga menjaga ketat tanaman mangga milik mereka mengingat musim mangga telah memasuki masa ranum. Ada yang menggilir anggota keluarga untuk mengamati tanaman mangga di halaman, ada juga yang memasang lonceng di pohon mangga dengan tali yang terjalin sampai kedalam rumah sehingga sewaktu-waktu bisa ditarik dan menimbulkan bebunyian, bahkan ada yang sengaja membayar orang untuk menjaga pohon mangga mereka. Â
Sekitar tiga hari, semua berjalan dengan lancar. Namun, dihari keempat semua bisa ditebak. Tutu kembali berhasil menggasak pohon mangga milik salah satu warga. Kali ini pohon mangga milik pak Juan yang menjadi korbannya. Bu Rosmiyati, istri pak Juan tampak pucat saat mengetahui pohon mangga miliknya telah dirusak. Pak Juan sendiri tampak menggebu-gebu menceritakan kebengisan Tutu terhadap pohon mangga miliknya. Sambil menunjuk-nunjuk ia mengumpat Tutu. Orang-orang yang datang terbakar kegeramannya.Â
Hingga apa yang ditakutkan sebagian orang harus terjadi. Semuanya bersepakat untuk membunuh Tutu dengan cara menyerangnya bersama-sama. Mulailah warga mengatur siasat dengan dipimpin Suef, seorang centeng di kampung ini. rapat-rapat rahasia digalakkan, warga ingin pembunuhan Tutu dilakukan diam-diam tanpa harus membuat gaduh apalagi hingga membuat aparat datang dan menghakimi semuanya. Anak-anak juga tak diizinkan tahu, cukup kepala keluarga saja yang menangani ini.
Hasil dari kesepakatan tersebut, warga akan membunuh Tutu malam ini. Beberapa orang terlihat membawa botolan cairan, dengan alat semprot khusus. Beberapa lagi membawa golok, parang, pisau lipat hingga kain hitam.Â
Tibalah saatnya kiamat untuk Tutu malam itu. Semuanya melakukan pembunuhan dengan enteng, tidak ada alat yang tidak terpakai, tak pula sesulit yang dibayangkan dan kini Tutu, keluarga dari kelas Bemisia tabaci yang sering membuat pertumbuhan tanaman mangga terhambat itu telah tiada. Ini semua karena Suef telah diberi resep dari ahli pengobatan tanaman sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H