Hingga bayi mereka lahir, pada bulan berikutnya. Terlihat jelas kebahagiaan terpancar dari wajah sang istri. Setiap hari ia timang-timang bayi laki-laki sehat itu. Diberikannya makanan dan susu terbaik. Dinyanyikannya lagu-lagu pelipur lara saat hendak menidurkan sang anak. Namun, sang suami datar saja pada bayi mereka.
" Bang, apa kau tak senang dengan kelahiran bayi kita"
" Tidak juga"
"Lalu, kenapa kau tak pernah membelainya barang sekalipun bang"
"Aku tak sudi"
" Apa maksudmu bang, itu anak kita"
"Bukan, itu anak siluman"
"Apa yang kau bicarakan bang"
Lelaki itu ngeloyor keluar, tanpa sepatah katapun. Siang itu langit cerah, tapi mendung di mata Seruni tampak menyembul. Ia menangis, dipeluknya bayi yang sedang tertidur itu. Tak habis pikir ia pada perkataan suaminya. Tangannya meraba sekeliling, tak sengaja ia terpegang kertas dibawah kasur bayinya. Tangisnya terhenti, ia merasa tak pernah meletakkan kertas dibawah kasur bayinya. Apalagi tidak ada orang yang menengoknya setelah melahirkan selama ini.
Maafkan aku dik, aku harus mengatakan ini. Aku tak pernah menidurimu selama ini. Siluman pesugihan itulah, ayah dari bayimu. Aku telah menyerahkanmu padanya sejak kita menikah. Semua ini sesuai perjanjianku saat menerima warisan dari bapak, aku harus menyerahkan istriku pada siluman pesugihan itu. Aku tak pernah benar-benar mencintaimu, hari ini aku akan pergi menemui Lis kekasihku yang telah lama aku tinggalkan. Berbahagialah, semua peralatan pesugihan itu aku wariskan pada bayi itu. Beri saja ia nama Sukiman.
Salam