Kartu Indonesia Pintar (KIP) merupakan bantuan sosial program yang ditujukan kepada para siswa dari keluarga yang kurang mampu untuk membantu biaya pendidikan. Namun, belakangan ini muncul kontroversi permasalahan dalam sistem dan verifikasi data penerima KIP kuliah yang kerap terjadi, keterbatasan dana dan kuota penerima hingga minimnya pengawasan dan supervisi. Tujuan awal program ini memang untuk membantu mahasiswa yang kesulitan secara finansial agar tetap bisa mengejar pendidikan tinggi. Akan tetapi ironisnya, seringkali bantuan tersebut malah jatuh ke tangan mereka yang sebenarnya tak memerlukan sokongan finansial ini.
Penelitian oleh Setiawan & Zain (2014) mengungkapkan bahwa sebagian besar beasiswa yang diterima oleh mahasiswa digunakan untuk membayar biaya kos, sekitar 45% dari total pengeluaran per bulan. Dari analisis gap yang dilakukan, terdapat dua kelompok cluster mahasiswa. Kelompok pertama cenderung menyukai gaya hidup glamour dan hedonis, sementara kelompok kedua lebih memilih gaya hidup sederhana dengan fokus pada bisnis, keberhasilan, dan pendidikan. Beasiswa Bidikmisi-KIP Kuliah yang diadakan perguruan tinggi negeri dan swasta dengan dukungan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, memberikan dana sebesar Rp 6.600.000 per semester kepada mahasiswa penerima. Dana tersebut terbagi menjadi dana bantuan biaya pendidikan (UKT) sebesar Rp 2.400.000 per semester dan dana bantuan biaya hidup sebesar Rp 4.200.000 per semester (Rohman & Widjaja, 2018).
Beberapa kasus menunjukkan bahwa penggunaan KIP Kuliah sering kali diiringi oleh kepemilikan barang-barang mewah, yang menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi antara bantuan sosial dan pola konsumsi yang terlihat. Banyak penerima KIP Kuliah, meskipun mendapat akses tambahan, memilih untuk menggunakan dana tersebut untuk membeli barang-barang mewah. Mahasiswa yang bersikap konsumtif cenderung menggunakan faktor emosional, seperti gengsi dan prestise dalam mengambil keputusan, sedangkan mereka yang lebih rasional lebih cenderung mempertimbangkan manfaat dan harga produk secara lebih objektif (Putri & Indrawati, 2016). Kebutuhan untuk memenuhi keinginan sering kali mengakibatkan remaja menghabiskan uang secara berlebihan, yang sebenarnya bertentangan dengan tugas perkembangan mereka untuk mempersiapkan diri secara mandiri, termasuk secara ekonomi.
Dalam konteks penggunaan barang mewah, terdapat perdebatan mengenai bagaimana orang menggunakan dana mereka. Beberapa orang berpendapat bahwa penggunaan dana untuk membeli barang mewah, terutama jika dilakukan oleh penerima bantuan sosial atau beasiswa seperti KIP Kuliah, dianggap tidak pantas atau tidak konsisten dengan tujuan dari bantuan tersebut, yaitu untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar atau mendukung pendidikan.
Mahasiswa melakukan kegiatan konsumsi karena dorongan untuk mendapatkan barang-barang trendy yang dapat meningkatkan penampilan mereka agar terlihat lebih modis dan juga karena ingin menyesuaikan diri dengan teman-teman mereka. Mahasiswa KIP-K tak lagi memperdulikan status sosial ekonomi mereka. Terlebih lagi yang terjadi sekarang bagi mahasiswa KIP-K baik itu perempuan maupun laki-laki dapat dikatakan sebagai ajang fashionable. Mereka tidak peduli dengan harga barang yang akan dibeli atau seberapa pentingnya barang tersebut bagi kebutuhan mereka. Yang terutama bagi mereka adalah kemampuan untuk tampil modis sesuai dengan tren zaman.
Hal ini menyebabkan uang beasiswa KIP-K tidak dimanfaatkan secara optimal. Seharusnya, dana beasiswa tersebut digunakan untuk mendukung pendidikan, tetapi malah digunakan untuk menunjang penampilan demi terlihat modis. Padahal hal tersebut jika dalam sudut pandang Islam merupakan hal yang hanya akan mubazir, karena mereka mempunyai barang-barang tersebut hanya untuk mengikuti trend saja, bukan dengan alasan bahwa mereka benar-benar membutuhkannya. Dana yang didapat dari beasiswa tersebut seharusnya digunakan dengan bijak dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, kebutuhan untuk menunjang pendidikan dan menyisihkan sebagian dana untuk ditabung guna berjaga-jaga apabila di masa depan ada kebutuhan mendadak yang harus dipenuhi. Perilaku tersebut termasuk perilaku tidak rasional, yaitu terjadi ketika seseorang membeli sesuatu tanpa memikirkan kegunaannya terlebih dahulu. Dalam artian mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan tersendiri.
Perilaku tersebut dilatarbelakangi oleh tiga faktor, yaitu faktor kebudayaan, faktor sosial, dan faktor pribadi. Seperti yang kita ketahui bahwasanya faktor budaya dalam kegiatan konsumsi berpengaruh paling luas karena perilaku keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Faktor lainnya adalah faktor sosial, dimana faktor ini  dipengaruhi oleh orang-orang yang ada disekitar seperti keluarga dan teman. Beberapa mahasiswa KIP-K ini juga tidak menyangkal bahwa lingkungan sekitar sangat mempengaruhi sikap mereka dalam membelanjakan uang, terlepas dari keinginan ataupun kebutuhan. Terakhir yaitu faktor pribadi yang juga mempengaruhi perilaku konsumsi mahasiswa. Dimana jenis kelamin perempuan lebih cenderung mempengaruhi kegiatan konsumsi tersebut sebab beberapa dari mereka berpikiran bahwa harus berpenampilan modis agar tidak dianggap ketinggalan zaman.Â
Baru-baru ini, terdapat menfess di dalam suatu base di platform X mengenai salahkah bila anak KIPK memakai iPhone. Mayoritas sepakat bahwa pemilik iPhone yang juga merupakan penerima KIP Kuliah dianggap tidak pantas memiliki barang mewah tersebut, baik barang tersebut diperoleh dari hasil usaha sendiri maupun dari uang yang diterima dari KIP Kuliah. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa jika ada uang, sebaiknya digunakan untuk hal yang menjadi prioritas seperti untuk dana pendidikan. Bukan digunakan untuk membeli barang-barang tersier. Memang ironis, terutama mengingat banyak mahasiswa yang gagal lolos seleksi KIP dan terpaksa harus mundur dari perkuliahan dikarenakan kurangnya dukungan finansial. Daya saing yang semakin ketat juga semakin mendorong penurunan kuota penerima KIP Kuliah.
Meskipun sudah dilakukan upaya untuk mengintegrasikan data penerima program KIP dari berbagai sumber seperti Dapodik, PDDikti, dan DTKS Kemensos, termasuk data P3KE yang dipastikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, namun nyatanya masalah terkait KIP dari tahun ke tahun tetap saja tidak ada perubahan yang signifikan. Orang yang benar-benar membutuhkan seringkali gagal lolos, sementara yang sebenarnya tidak begitu membutuhkan justru berhasil mendapat bantuan.
Seharusnya sebagai penerima KIP Kuliah, penting untuk menggunakan uang bantuan tersebut dengan bijaksana, terutama untuk kebutuhan pendidikan yang esensial seperti biaya kuliah, buku, dan kebutuhan akademis lainnya. Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan etika dalam penggunaan dana tersebut. Uang bantuan sebaiknya tidak digunakan untuk mencukupi kebutuhan tersier, apalagi untuk membeli barang-barang yang tergolong mewah. Hal ini tidak hanya menjaga integritas dan tujuan dari bantuan tersebut, tetapi juga dapat memberikan contoh yang baik tentang pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H