Nama : Nyimas Aulia Zalma
NIM : 23010400229
Mata Kuliah : Komunikasi Massa (L)
Prodi : Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Dosen Pengampu : Sofia Hasna, S.I.Kom., M.A & R. Hiru Muhammad, S.Sos, M.I.Kom
Komponen-Komponen yang Dilibatkan dalam UU Penyiaran
Kegiatan penyiaran di Indonesia tentu saja telah diatur di dalam perundang-undangan. Adanya regulasi dan institusi bertujuan mengatur penyiaran untuk memastikan bahwa hal yang disiarkan melayani kepentingan publik, mengedepankan keberagaman serta sesuai dengan standar etika. Hal ini telah ditulis dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002. Pada dasarnya undang-undang tersebut menyebutkan garis besar terkait prinsip, tujuan, dan regulasi kegiatan penyiaran. Garis besar yang termasuk undang-undang ini yaitu:
- Secara hukum diakui bahwa terdapat berbagai tipe penyiaran, seperti publik, swasta maupun komunitas. Dimana masing-masing memiliki peran dan tanggung jawabnya.
- Memastikan bahwa standar konten penyiaran menghormati hal-hal seperti moralitas publik, nilai budaya, serta kesatuan dan persatuan negeri.
- Secara hukum ditetapkan sistem izin bagi penyiaran, memberi pengawasan serta regulasi terhadap kegiatan penyiaran.
Dalam undang-undang juga menyebutkan lembaga yang mengimplementasi dan bertanggung jawab dalam regulasi penyiaran. Salah satunya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang merupakan lembaga independen, bertanggung jawab atas regulasi, pengawasan konten penyiaran, memberikan lisensi, serta memastikan penyiaran sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Selain keberadaan KPI, lembaga independen krusial lainnya yaitu Dewan Pers yang dibentuk untuk melindungi kebebasan pers, memastikan etika jurnalistik, dan melindungi hak-hak para jurnalis serta publik. Keberadaan Dewan Pers ditandai dalam UU Nomor 40 Tahun 1999. Tujuan utama Dewan Pers dalam hal ini adalah menjaga hak-hak jurnalis dan masyarakat sehingga jurnalis dapat menjalankan praktik jurnalistiknya yaitu mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang dibutuhkan masyarakat secara faktual dan aktual.
Â
Problematika Revisi UU Penyiaran
RUU Penyiaran ini merupakan revisi undang-undang yang disusun oleh anggota legislatif yaitu DPR, bertujuan untuk membentuk ulang gambaran penyiaran yang menyesuaikan kemajuan teknologi dan perubahan perilaku konsumsi media masyarakat Indonesia. RUU Penyiaraan ini akan berefek kepada para penyiar, content creators, dan penonton. Namun, ketika hal ini akhirnya disebarkan lalu menjadi bahan pembicaraan, banyak sekali pihak-pihak yang menentang revisi undang-undang ini. Terutama orang-orang yang bekerja di bidang terkait seperti para jurnalis, pembuat konten, masyarakat sipil, bahkan dari Dewan Pers sendiri menentang RUU Penyiaran ini. Disebutkan dalam website Hukum Online yang membahas soal masalah revisi undang-undang ini, bahwa penyusunan draf RUU Penyiaran tidak melibatkan substansi maupun pemangku kepentingan bermasalah. Bertentangan dengan tujuan dibuatnya RUU Penyiaran ini, daripada menyebutkan RUU Penyiaran dibuat untuk menyesuaikan zaman justru disebut RUU ini ketinggalan zaman.
Pada website yang sama (hukumonline.com) Prof. Andi Faisal Bakti menyebutkan bahwa, ketentuan RUU ini tergolong karet karena sangat rentan menjerat jurnalis. Ini juga yang disebut bahwa RUU ini mengancam kebebasan pers. Pada Pasal 50B ayat (2), mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Padahal hak publik untuk mendapatkan berita sebagai kebutuhannya terhadap informasi untuk tahu apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Selain itu, RUU Penyiaran juga memuat pasal yang saling tumpang tindih, mengenai kewenangan KPI dan Dewan Pers sebagaimana telah diatur Pasal 8A huruf (q) dan Pasal 42 ayat (2). Bahwa KPI diberikan kewenangan untuk menangani sengketa pers yang sebenarnya merupakan tugas Dewan Pers dan sudah ditangani dengan baik oleh mereka. Disebutkan juga pada Pasal 51 huruf E, dimana RUU mengatur keputusan KPI mengenai hasil sengketa dapat diajukan ke pengadilan.
Keberadaan RUU Penyiaran yang Justru Meresahkan
Setelah disebutkan hal-hal yang mengganggu dari RUU Penyiaran ini, menyimpulkan bahwa revisi undang-undang malah memundurkan kualitas jurnalisme. Disebutkan bahwa RUU ini mengancam kebebasan dalam berekspresi karena ketidakjelasannya ketentuan yang ada dalam RUU Penyiaran. Revisi undang-undang ini pastinya akan sangat berefek pada pembuat konten-konten lokal karena akan semakin sulit mengekspresikan diri mereka lewat karya. Karena pada dasarnya hal seperti ini terlalu sulit untuk diukur. Ditakutkan akan menimbulkan konten yang malah terkesan homogen daripada bervariasi. Adanya RUU Penyiaran ini malah terkesan bahwa pemerintah terlalu mengintervensi bidang penyiaran. Dimana akan adanya pengaruh politik berlebih terhadap konten media daripada mengedepankan independensi penyiaran.
Â
REFERENSI
Dewan Pers Indonesia. UU Nomor 40 Tahun 1999. Website Resmi Dewan Pers
https://www.dewanpers.or.id
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat. Revisi Undang-Undang Penyiaran. Website Resmi DPR.
http://dpr.go.id
Komisi Penyiaran Indonesia. UU RI Nomor 32 Tahun 2002. Website Resmi KPI
https://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%2032%20Tahun%202002%20tentang%20%20Penyiaran.pdf
 Thea DA, Ady (2024). Mengurai 3 Masalah dalam RUU Penyiaran. Hukum Online
https://www.hukumonline.com/berita/a/mengurai-3-masalah-dalam-ruu-penyiaran-lt6686773c244f5/#!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H