Kunjungan kami ke Tugu Proklamasi menandakan berakhirnya acara Napak Tilas Kemerdekaan, yang disertai foto bersama untuk terakhir kalinya dan bagi saya pribadi, kegiatan diakhiri dengan menjadi sukarelawan untuk diwawancara oleh reporter TVRI.
Melintasi Beragam Warisan Sejarah dan Budaya
Beruntunglah saya memutuskan untuk mengikuti rute pagi karena matahari belum terlalu terik ketika kami berjalan kaki dari 1 destinasi ke destinasi lain yang memakan waktu 30 hingga 40 menit. Terlebih, banyaknya pohon rindang di sepanjang jalur khusus pejalan kaki yang membuat cuaca lebih adem sehingga tidak terlalu banjir keringat. Selain menyehatkan badan, berjalan kaki membuat kami lebih sadar dengan lingkungan sekitar dan mampu melihat segala sesuatunya lebih detil daripada naik kendaraan.
Kami pun sempat melintas di depan rumah Achmad Subardjo, yang sayang sekali sudah dijual melalui agen properti Ray White. Kondisi rumah tersebut agak kurang terawat dengan rumput liar dan facade bernoda hitam-hitam, namun masih tersisa keindahan gaya kolonialnya. Entah mengapa pemerintah tidak mengusahakan supaya rumah tersebut dilestarikan sebagai cagar budaya atau dijadikan museum misalnya.
Terdapat juga Hotel Cikini, yang berdiri di lokasi bekas kedai es krim Tjan Njan, yang sekarang bernama Tjanang karena situasi politik yang tidak memperbolehkan nama berbau Tionghoa di zaman Orde Baru. Sudah tak banyak generasi muda sekarang yang mengetahui keberadaan es krim tersebut, namun es krim Tjanang adalah favorit Soekarno dan keluarga Cendana.
Taste of Heritage Soekarno