Mohon tunggu...
Nur Yuniati Ayu Pertiwi
Nur Yuniati Ayu Pertiwi Mohon Tunggu... Lainnya - Untukku, untukmu, dan untuk kita semua.

In a world of worries, be the warrior!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Strict Parents?

29 Mei 2021   10:34 Diperbarui: 29 Mei 2021   10:49 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin dari kalian sudah sering mendengar istilah 'Strict Parents'. Entah itu dari berbagai sosial media seperti Twitter, Instagram, YouTube ataupun dari beberapa artikel yang terkait. Strict Parents merupakan tipe orang tua yang sering mengatur anak-anaknya sesuai dengan keinginan mereka, tanpa memikirkan dan menghargai bagaimana perasaan anaknya.

Kebanyakan millennials tentunya sangat tidak menyukai jika dirinya terlalu banyak menerima aturan dari orang tua mereka. Mereka cenderung menginginkan hal-hal yang bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan yang telah dibuat oleh orang tuanya. Tak jarang orang tua terlalu berlebihan dalam memberikan aturan, sehingga anak seringkali merasa muak terhadap hal-hal seperti ini. 

Dulu saya juga pernah merasakan hal ini. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, untuk keluar bersama teman-teman, sangatlah susah mendapatkan izin dari mereka. Padahal keinginan saya untuk keluar bersama teman-teman, tidak lain karena ingin mencari bahan untuk kerja kelompok. Masih membekas diingatan saya saat itu, saat saya kelas 2 SMP.  Agar bisa mendapat izin untuk keluar rumah, saya diserang oleh beberapa pertanyaan seperti; "Kamu pergi sama siapa aja?", "Mau ngapain aja?", "Memangnya ga bisa dirumah aja cari bahannya?", "Anggota kelompoknya ada laki-laki ga?", "Habis itu mau kerumah siapa?", "Pulangnya jam berapa?" dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang sering membuat saya ingin menyerah untuk keluar rumah. Dan yang terjadi akhirnya adalah Ayah saya memilih menemani saya bersama teman-teman saya hingga kegiatan selesai. Jujur, air sempat menetes dari bola mata saya. Saya terus membatin "Jadi anak tunggal memang menyebalkan!". Hingga di masa-masa SMA pun orang tua saya tetap sama. Tidak berubah sedikit pun. Ajakan teman-teman nongkrong diluar pun seringkali saya tolak. Karena saya paham betul bagaimana reaksi kedua orang tua saya nantinya. Selain itu, alasan saya keluar pun pasti tidak diterima. Semakin kesini saya semakin malas untuk keluar rumah, dan tentu juga berdampak pada kepribadian saya. Ya, orang orang sering menyebutnya dengan 'Introvert.'

Hal yang membuat saya sangat sedih yaitu, ketika pemilihan PTN setelah lulus SMA. Sejak dulu, saya sangat menginginkan kuliah di Jurusan Pedidikan Agama Islam, dan tertarik untuk berkuliah di IAIN SAMARINDA. Jika di kota kelahiran saya saat ini memiliki PTN dan jurusan yang saya inginkan sejak dulu, tak mungkin saya memilih berkuliah di Samarinda. Saya sempat berfikir, jika keluar rumah saja susah apalagi untuk tinggal di kota orang. Dan ternyata benar. Lagi-lagi, karena orang tua yang selalu saja resah jika tidak bisa melihat anak satu-satunya didepan mata mereka nantinya, akhirnya mereka pun memutuskan agar saya berkuliah di kota ini saja dan tentunya dengan jurusan yang berbeda pula.  Beberapa minggu saya merasa down, sulit makan, malas melakukan apa-apa dan hanya merenung karena keputusan yang mereka buat. Mau tidak mau. Berbagai cara telah saya lakukan untuk meyakinkan mereka. Namun apa daya, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sertifikat hapalan Al-Qur'an yang tersusun rapi di meja belajar, saya buka satu persatu sambil berkata di dalam hati "Semoga hapalanku tidak terganggu kedepannya dengan keputusan yang mereka ambil saat ini."

Saya memiliki pikiran jika kelak saya menjadi orang tua, saya tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang orang tua saya lakukan kepada saya. Saya paham, mungkin kedua orang tua saya juga merasa kesepian jika tidak adanya saya dirumah. Namun kesepian juga bisa diatasi dengan cara lain, kan? Tidak harus membatasi anak-anaknya dalam menggapai cita-cita. Orang-orang selalu saja fokus kepada satu solusi, padahal bisa saja ada solusi lain yang bisa ditemukan.

Semakin dewasa saya semakin sadar bahwa ada alasan kenapa orang tua melakukan ini kepada saya. Terkadang hal ini sangat annoying, membuat saya tertekan, tidak bebas dan lainnya. Namun, orang tua jelas sangat sayang kepada anaknya, hingga mereka takut jika hal-hal yang tidak terduga bisa menimpa anaknya. Jadi jangan memberontak jika diberi larangan oleh mereka. Mereka sebenarnya tidak salah, namun penerapan ke anaknya mungkin sedikit belum benar. Dan kemungkinan masalahnya ada di komunikasi yang buruk antara kita dengan orang tua. Jadi, kembangkanlah rasa empati dalam keluarga agar komunikasi yang dilakukan juga menjadi lebih baik.

Untuk itu, mari belajar menghargai mereka. Protes ya boleh-boleh saja, namun tetap santun dan tidak menyakiti hati keduanya. Siapa tahu mereka mulai memahami dan akhirnya mulai menuruti apa yang sebenarnya kita inginkan. Tetap semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun