" Ibu adalah sosok wanita tangguh yang mencurahkan cinta dan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda dari orang lain "
Begitulah yang bisa saya gambarkan mengenai sosok wanita lebih dari paruh baya yang telah bersedia bertaruh nyawa demi melahirkanku 39 tahun lalu. Ibuku melahirkanku pada saat usianya 19 tahun, usia yang sangat belia untuk menjadi seorang ibu. Â Usia dimana seorang gadis remaja seharusnya masih menikmati masa lajangnya bersama teman-teman dan menikmati kebebasan hidup tanpa ada beban. Tapi ibuku sudah harus merawat seorang bayi yang lahir prematur ( umur 32 minggu ) dengan berat badan 1800 gram dan lahir secara sungsang. Diantara kondisi hidup yang penuh keterbatasan ekonomi, ibuku memilih membesarkanku dirumah ketimbang menyerahkanku dibawah pengawasan dokter dan perawat di rumah sakit. Hari demi hari sentuhan kasih sayang yang diberikan ibu, membuat saya tumbuh dan berkembang dengan baik. Meskipun saya lahir prematur tapi tumbuh kembang fisikku berlangsung dengan cepat, layaknya anak-anak yang lahir cukup bulan. Setiap fase tumbuh kembang balita kulalui tanpa ada masalah sedikitpun.Â
Meskipun saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, tapi saya tumbuh dilingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan rasa cinta. Ibu adalah orang pertama yang mengajarkanku arti sentuhan, orang pertama yang mengajarkanku cara berjalan, orang pertama yang mendekapku dengan penuh kehangatan,dan juga orang pertama yang mengajarkanku apa itu huruf,angka, maupun huruf hijaiyyah. Ibu merupakan sekolah pertamaku, yaitu sekolah untuk belajar tentang kehidupan. Berbagai pendidikan moral dan karakter menjadi hal utama yang diajarkan oleh ibu.
1. Belajar meyakini keberadaan Allah dan memahami agama Islam
Hal yang paling penting dan pertama kali diajarkan oleh ibuku mulai dari usiaku balita adalah pemahaman tentang keberadaan Allah dan tentang agama islam. Beliau yang mengajarkanku huruf-huruf hijaiyyah, hingga selanjutnya diteruskan oleh guru mengajiku. Ibu akan sangat marah kalau saya malas untuk pergi mengaji. Ibu pernah berkata, lebih baik miskin harta daripada saya tidak bisa mengaji. Karena kepandaian mengaji adalah bekal bagi anak soleha untuk mendoakan kedua orang tuanya. Dan ayah saya juga pernah mengatakan bahwa beliau mungkin tidak dapat mewariskan harta, tapi setidaknya ayah bisa mewariskan ilmu yang bermanfaat.
2. Â Belajar untuk tidak pernah mengeluh dalam kondisi apapun
Ayahku hanyalah seorang tukang servis alat elektronik yang sehari kadang ada pelanggan kadang tidak. Tak jarang kami harus berhutang di warung hanya untuk membeli beras demi mengganjal perut. Meskipun begitu, ibuku tak pernah mengeluh sedikitpun mengenai kondisi ekonomi yang morat marit ini. Tak pernah terlontar sedikitpun kata-kata dari mulut ibuku yang mengeluh karena ayahku tak mampu memberikan nafkah yang layak. Ibuku memang memiliki tingkat emosional yang agak tinggi, tapi dibalik tiap kata-kata marahnya tak pernah terlontar nada mengeluh sedikitpun. Jadi sesulit apapun kondisi yang kami hadapi, tak pernah sedikitpun beliau mengeluh. Bagiku, ibu adalah wanita yang benar-benar tangguh dalam menghadapi kerasnya kehidupan ini. Oleh sebab itu, saya pun terdidik menjadi wanita yang tidak gampang untuk menangis, setidaknya tidak dihadapan orang lain. Hingga saat ini, jika kesulitan besar menghadang dihadapan saya maka , saya akan berusaha bertahan sekuat mungkin tanpa bantuan orang lain. Karena aku ingin menjadi wanita tangguh seperti ibuku.
3. Belajar untuk bertanggung jawab terhadap setiap tindakan yang dilakukan
Ada satu peristiwa lagi yang masih terngiang dibenakku , kejadiannya sekitar 30 tahun lalu . ibuku pernah menamparku karena kesalahanku yang telah memukul anak tetangga dengan kayu hingga kepalanya berdarah. Saat itu ibu berkata, kalau salah maka harus bertanggung jawab dengan kesalahan yang telah dilakukan, jadi apapun hukumannya harus diterima. Meskipun ibuku tau bahwa tindakanku memukul anak tetangga itu karena dia telah menghinaku dengan panggilan anak orang miskin. Tapi kesalahan harus tetap dipertanggung jawabkan.
Saya sama sekali tidak dendam atas tamparan ibuku itu, tapi justru hal itu membuatku menjadi pribadi yang bertanggung jawab dengan setiap langkah yang saya lakukan dalam hidup ini. Termasuk resiko pahit dalam kehidupan berumah tangga yang harus saya terima atas pilihan saya sendiri. Yah, saya harus mengambil keputusan menjadi single parent di saat usia anak saya baru berumur 1 tahun. Suatu keputusan yang sangat sulit untuk saya ambil, tapi demi kebaikan semuanya saya harus mampu menerimanya dengan legowo. Dan saya pun mampu melewati fase ini dengan baik karena ibuku telah menanamkan nilai tanggung jawab untuk setiap langkah yang saya lakukan.
4. Belajar untuk menjadi role model ( tauladan yang baik )
Meskipun ibuku termasuk wanita yang cerewet tapi beliau bukan tipe yang langsung menegur kalau kita salah tapi beliau akan menunjukkan dengan sikapnya tentang kesalahan kita. Misalnya kalau piring yang saya cuci itu kurang bersih, maka beliau tidak akan berkomentar langsung " Nih piring kok masih kotor ya", jangan pernah berharap ibu saya akan berkata seperti itu. Tapi piring itu akan diambilnya dan akan dicuci ulang dihadapan saya, hingga saya akan sadar bahwa hasil cucian saya itu masih kotor. Jadi, beliau itu lebih banyak mengajarkan dengan sikap, bukan kata-kata.
Hal ini pun tanpa sadar saya lakukan sekarang dengan anak saya. Saya harus berusaha menjadi role model yang baik untuk anak saya. Salah satunya menjadi contoh mengerjakan sholat tepat waktu. Agar anak saya terbiasa sholat tepat waktu, maka saya pun berusaha sholat tepat waktu didepan anak saya. Jadi, tanpa harus banyak ngomel, anak saya akan ikut sholat berjamaah dengan saya. Layaknya pepatah lama " buah jatuh tak jauh dari pohonnya". Anak-anak akan menirukan apa yang dilakukan oleh orang tuanya.
Saat ini, Ketika saya telah menjadi seorang ibu memori tentang kehidupan masa kecil saya terekam dengan baik. Betapa sulitnya untuk menjadi orang tua yang baik, yang mampu memenuhi kebutuhan lahir maupun batin bagi anaknya. Apalagi dalam kondisi single parent, saya harus mampu berperan menjadi seorang ibu dan juga seorang ayah bagi anak saya. Mungkin saya belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi peran seorang ayah, tapi setidaknya saya telah mengajarkan kepada anak saya untuk menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri, agar nantinya anak saya mampu melewati berbagai kesulitan hidup dengan berani dan bijaksana.
Kalau bicara tentang seorang ibu, tak habis kata yang mampu saya utarakan karena pengorbanan dan kasih sayang yang telah beliau berikan layaknya air di lautan yang tak mampu saya hitung banyaknya. Beberapa kejadian yang saya utarakan di atas hanya Sebagian pelajaran yang dapat saya petik dari beliau.Dibalik sikapnya yang gampang marah tersirat rasa cinta yang luar biasa, yang membuat ibuku berbeda dengan yang lainnya. Â Saya yakin , anda sekalian pun memiliki berbagai cerita masing-masing mengenai seorang ibu. Semoga berbagi secuil kisah ini dapat lebih menumbuhkan rasa cinta, rasa sayang dan hormat kita kepada ibu yang telah melahirkan kita dan juga sebagai sekolah pertama kita dalam hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H