Mohon tunggu...
Nyayu Fatimah Zahroh
Nyayu Fatimah Zahroh Mohon Tunggu... Ilmuwan - Everything starts from my eyes

Coba sekekali lihat ke langit setiap hari, dan rasakan betapa membahagiakannya \r\n\r\nhttp://nyayufatimahzahroh.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menunggu Hujan

14 Juli 2015   14:22 Diperbarui: 14 Juli 2015   14:22 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ilustrasi: Shutterstock/kompas.com

Puasa Ramadhan kali ini bisa dibilang tak begitu terasa walaupun secara durasi antara adzan subuh dan magribnya lebih panjang di utara khatulistiwa dibandingkan dengan tempat tinggalku di Bogor. Pekanbaru, kota paling utara yang pernah ku singgahi, kesan pertama memang panas, kering dan berasap. Untuk itulah alasan aku berada disini, meminimalisir dampak asap maupun kebakaran hutan dengan memodifikasi cuaca atau orang-orang sering menyebutnya hujan buatan (Menabur Garam di Garis Cakrawala). Hal tersebut karena tempat ku bekerja yang menyediakan jasa TMC (teknologi modifikasi cuaca).

Sejak hari pertama aku di sini, belum ada hujan yang berarti. Maksudnya adalah hujan yang membuat kita harus menggunakan payung untuk keluar rumah. Hujan gerimis, bahkan itu tak pantas disebut gerimis karena penakar hujan saja tak dapat membaca keberadaan jatuhnya tetes-tetes air tersebut. Angka nol selalu terpampang dalam kolom curah hujan. Nihil. Tak ada hujan. Setiap hari kami berharap kegiatan TMC ini berhasil. Memang agak sulit atau bisa dibilang sangat sulit melakukan modifikasi cuaca pada kondisi kering seperti ini. Langit cerah membiru, bahang matahari langsung mengenai ubun-ubun, bahkan orang-orang sekitar pun enggan keluar rumah barang satu meter di tengah hari.

Penerbangan kali ini adalah penerbangan terakhir dalam pekan ini bagiku karena hari ini pula aku harus pulang ke Jakarta bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, sang pilot, Kapten Dian berbisik “sepertinya hari ini kita akan dapat emas” katanya sambil menegakan telunjuknya ke arah awan. Emas yang dimaksud tentunya adalah awan cumulus, awan yang potensial untuk menghasilkan hujan. Senyum pun tersungging dari bibir ku. “Ayo kapten kita terbang, jangan sampai awan itu tersipu malu dengan kedatangan kita” kata ku.

Mesin mulai dinyalakan tepat pukul 13:00, baling-baling mulai berputar, sang apron melambai-lambai mengarahkan pesawat, kecepatan mulai ditingkatkan, berlari dan berlari, kemudian terbang mengangkasa. Dari cockpit dapat dibuktikan bahwa perkataan sang pilot benar adanya. Terlihat gundukan-gundukan awan di garis cakrawala. “Ayoo, silahkan pilih yang mana” kata co-pilot Iskandar dengan menyuguhkan pemandangan tanpa batas. Aku menunjuk ke satu tumpukan awan yang terlihat paling tinggi. Sekitar 15 menit kemudian kita baru sampai di gundukan awan tadi. Pada awalnya saya pikir jaraknya dekat, tapi pemandangan di atas awan yang terhampar bagaikan permadani seolah menjadi fatamorgana bagi mata saya yang awam. Kemudian sang pilot pun bermanufer mengikuti arah angin agar dapat menaburkan garam dengan tepat ke dalam awan dengan bantuan angin.Beberapa kali turbulensi dalam awan menggetarkan tubuh armada kami. Itu tandanya memang hari ini awan sedang banyak-banyaknya. Kami pun tak sulit menemukan awan yang ke 2, ke-3, dan seterusnya. Karena asyiknya kami menabur garam, tak terasa garam dalam tabung konsul pun sudah habis, saatnya kembali ke PKU.

Pagi tadi saya membuka surat kabar lokal, dan salah satunya berisi tentang kegiatan TMC yang kami lakukan. “Berton-ton garam sudah dihabiskan, mana hujannya?” begitulah salah satu opini dari masyarakat di media cetak tersebut. Jangankan masyarakat, kami pun sedih sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi hujan tak turun-turun juga. Ya, itulah manusia hanya bisa berusaha dan Allah lah yang memutuskan apakah hari ini hujan atau tidak. Mungkin Allah sudah kesal dengan perbuatan manusia yang dengan sekehendak hati membakar hutan yang sebenarnya menjadi sumber kekayaan, sumber air, sumber obat-obatan, sumber makanan, dan sumber kehidupan. Seharusnya kita sebagai hamba-Nya bersyukur dengan apa yang kita miliki bukan merusaknya.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar-Rum 41-42)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim : 7)

Ku tutup buku laporan ku dan ku serahkan kepada yang meneruskan kegiatan ini. Saatnya kami pulang. Untuk terakhir kalinya aku melihat langit pekan baru begitu berawan, semoga Allah memberikan rahmatnya. Tiba-tiba terasa tangan ku ditetesi oleh air. Untuk meyakinkannya, aku bertanya pada teman-teman ku. Ternyata mereka pun merasakannya. Ini gerimis. Lama kelamaan intensitasnya pun bertambah, teman-teman ku langsung berlari menuju mobil avanza yang akan membawa kami ke hotel. Tapi, aku tak langsung berlari, ingin merasakan sebentar air hujan yang telah kami tunggu-tunggu. Menengadahkan kepala ke langit dan berucap “Alhamdulillah”. Tetes demi tetes membasahi pipiku, hingga tak terasa sekujur tubuhku telah basah kuyup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun