Sudah lama sekali rasanya punya niat untuk mengolah sampah organik sendiri. Sampai akhirnya, untuk memulai pengomposan, saya mencari-cari alat untuk mengompos di e-commerce.Â
Ternyata banyak sekali ya macamnya, mulai dari yang berukuran besar hingga kecil, mulai dari yang mahal hingga yang murah. Tapi, pilihan saya jatuh ke salah satu compost bin "Sustainantion", karena mereka menawarkan workshop dan pembinaan gratis langsung dari yang berpengalaman.Â
Ya, jadi selama ini saya bingung untuk tanya langsung ke siapa, orang yang berpengalaman, karena masih dibilang jarang orang yang mengompos sampahnya sendiri, apalagi di kota.
Komposter itu banyak macamnya, tidak hanya compost bin, ada juga yang pakai compost bag, lubang biopori, atau seperti yang dilakukan orang-orang kampung zaman dulu dengan menggali lubang untuk membuang sampah (open pile).Â
Saya memilih menggunakan compost bin karena volumenya yang lebih kecil dan cocok untuk ukuran halaman rumah saya.
Setelah kita tahu mau pakai cara apa, lalu kita harus mengerti dulu jenis-jenis sampahnya. Ada yang namanya material hijau yang mengandung sumber nitrogen seperti kulit buah atau sisa sayuran, rumput, dan daun hijau, roti yang sudah berjamur, dan lain-lain. Nah, ini yang menjadi makanan pengurai seperti belatung, mikroba, dan hewan lain.
Lalu, ada material coklat. Sampah ini memiliki karakteristik berwarna coklat dan kering, seperti daun kering, serpihan kardus/kertas, sekam, kulit kacang, cangkang telur, dan lain-lain.Â
Bahan ini memiliki kandungan karbon sebagai sumber energi bagi mikroba. Selain itu, bahan coklat ini berfungsi supaya sampah tidak terlalu bau atau sampah terlalu basah.
Perbandingan antara sampah coklat dan sampah hijau adalah 2:1, yang dirasa cukup optimal untuk proses mengompos. Jika ada sampah seperti tulang ayam, sisa daging, produk susu, dll, perbandingannya menjadi 4:1 karena sampah ini mengundang lebih banyak belatung dibanding sampah dari sayuran dan buah.
Kemudian secara rutin sampah diaduk agar mendapatkan oksigen yang dapat mempercepat proses pengomposan. Bisa setiap hari, atau seminggu tiga kali, atau seminggu sekali.Â
Semakin sering diaduk maka semakin cepat proses mengompos. Setelah compost bin penuh, kita diamkan selama 20-30 hari setelah sampah terakhir dimasukan dengan tetap melakukan proses pengadukan.
Ada beberapa tanda kalau kompos sudah matang. Yang pertama adalah sudah tidak ada belatung/sudah mati dan sampah berwarna hitam/coklat gelap. Kemudian, kompos sudah tidak bau lagi, baunya sudah seperti tanah. Kemudian suhu kompos sudah tidak hangat lagi, karena pada saat mengompos suhu sampah hangat.
Setelah matang, kompos dikeluarkan dari komposter dan dijemur atau diangin-anginkan agar kering. Lalu, kompos disaring/diayak agar memisahkan material yang masih besar-besar ukurannya dengan yang ukuran lebih kecil. Untuk ukuran yang lebih besar bisa digunakan sebagai material hijau di kompos berikutnya.
Kenapa kita harus mengelola sampah sendiri?Â
Sebagian besar sampah yang kita hasilkan adalah sampah organik dan itu akan menjadi masalah besar kalau dibuang di TPA yang kondisinya sudah menumpuk-numpuk karena sampah organik yang tidak terurai secara sempurna akan menghasilkan gas metana yang merupakan gas rumah kaca 20 kali lebih berbahaya dari gas karbondioksida. Gas metana juga mudah terbakar, bahkan bisa terjadi ledakan.Â
Hei... jangan bangga dulu pakai produk yang compostable tapi tetap dicampur dengan sampah lain.
Masih banyak lagi dampak terhadap lingkungan akibat sampah organik masuk ke TPA seperti mencemari tanah dan air bumi (groundwater) yang mungkin dimanfaatkan juga oleh warga sekitar TPA.
Mengompos itu mudah kan? Kalau dari pengalaman, memang awal-awal dirasa memberatkan karena tidak terbiasa. Tapi, lama kelamaan mulai terbiasa dan bisa merasakan manfaatnya.Â
Selain sampah di rumah lebih sedikit, lebih kering, dan tidak bau, dapat kompos untuk tanaman itu bonusnya. Kita tinggal menambahkan 1:1:1 sekam, tanah, dan kompos yang sudah jadi.
Kalau buat composter sendiri, apa bisa? Bisa banget, asalkan memenuhi kriteria ada sirkulasi udara, ada tutupnya (agar tidak kena matahari langsung, atau air hujan masuk), dan saringan di dasar composternya supaya memisahkan air lindih dengan komposnya.Â
Air lindih ini sebagai POC (pupuk organic cair) yang bisa digunakan untuk tanaman yang sebelumnya diencerkan terlebih dulu dengan air dengan perbandingan 1:100.
Kalau kata foundernya sustaination Mba Dwi Sasetyaningtyas, tidak ada kata gagal dalam mengompos, hanya kompos yang tertunda. Makanya, yuk mulai dari sekarang kita kelola sampah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H