"Wah, pintar sekali, umur 3 tahun sudah bisa menulis dan mewarnai."
Orangtua mana yang tidak bangga dengan pujian tersebut. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri ketika anak kita memiliki kemampuan motorik di atas rata-rata anak seusianya. Apalagi, syarat untuk masuk sekolah sekarang memang diwajibkan bisa membaca dan menulis. Tidak seperti saya dulu, guru SD kelas satu lah yang mengajarkan cara menulis dan membaca.
Perlu kita ingat bahwa anak-anak memiliki tahapan perkembangan motorik sesuai dengan usianya. Misalnya sejak anak berumur 1 tahun, mereka senang sekali memegang alat tulis kemudian mencoret-coretkannya di tembok atau apapun itu yang ada di sekitarnya.
Menurut Vidya Dwina Paramita, seorang Montessorian dan praktisi Pendidikan Anak Usia Dini, anak-anak yang jemarinya belum cukup kuat, tetapi sudah dipaksakan untuk langsung menulis di atas lembaran kertas, akan mogok menulis sejak umur 5 tahun. Penyebabnya adalah tangan mereka mudah lelah saat menulis.
Lalu, bagaimana seharusnya?
Pertama kuatkan terlebih dahulu jemarinya (terutama 3 jari pencil grip, jempol, telunjuk, dan jari tengah) sebagai persiapan menulis.
Kegiatannya pun bermacam-macam mulai dari permainan menyendok, memindahkan benda dengan penjepit, menggunting kertas, membuka dan menutup tutup botol, dan lain sebagainya. Dengan begitu, otot-otot jari-jari dan pergelangannya menjadi lebih kuat, sehingga anak akan gembira dengan kegiatan menulis.
Yang kedua, untuk dapat menulis, anak perlu dilatih memperpanjang rentang konsentrasinya.
Bagaimana caranya? Tentunya tidak bisa instan, perlu dilakukan berkali-kali.
Melalui permainan-permainan kegiatan sehari-hari bisa memperpanjang rentang konsentrasinya. Misalnya, pada saat ia memindahkan bola pompom kecil dengan pinset, awalnya anak hanya bertahan hingga bisa memindahkan 5 buah. Kemudian di lain waktu, rentang konsentrasinya bertambah sehingga ia bisa memindahkan pompom lebih dari 5.
Yang ketiga adalah melatih koordinasi mata dan tangan. Saat menulis, anak-anak perlu dilatih koordinasi antara mata dan tangan. Sering kita lihat, ketika anak berusia 1-2 tahun memindahkan benda, namun meleset, misalnya saja saat menuangkan air dari teko ke gelas. Hal tersebut karena belum selarasnya antara mata dan tangan. Begitu juga dengan menulis, anak harus bisa menempatkan pensilnya di garis yang pas pada kertas. Untuk menstimulasinya, bisa melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari seperti menuang air, memindahkan kelereng dengan sendok dari gelas satu ke gelas lainnya.
Yang terakhir, tumbuhkan kemandirian dan citra diri yang positif. Dalam proses melakukan kegiatan sehari-hari, anak-anak kerap menemukan kesulitan. Pada saat itulah orang dewasa dengan sigapnya membantu anak untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, presepsi itu salah. Orientasi anak terhadap suatu kegiatan adalah prosesnya, sedangkan orang dewasa cenderung mementingkan hasilnya.
Jika kita melihat dari kaca mata proses, maka tidak kenal kata "harus benar", "harus sempurna", atau "harus menang". Yang perlu diketahui adalah, anak-anak harus sering dipaparkan oleh kegagalan, kekecewaan, dan ketidaksempurnaan. Sehingga ketika mereka menemukan masalah, mereka mampu mengatasinya.
Selain itu, dengan membiarkan anak membantu dirinya sendiri, mereka merasa orang tua mereka telah memberikan kepercayaan bahwa mereka mampu melakukan sesuatu. Misalnya saja pada saat anak yang sebenarnya sudah bisa makan sendiri namun masih disuapi. Apakah karena mereka sudah merasa nyaman disuapi, atau orang tua atau guru mereka tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk makan sendiri? Seperti kata Maria Montessori-pakar pendidik anak "Help me to help myself"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H