[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock (http://www.genconnect.com/)"][/caption]
Tulisan ini merupakan lanjutan dari puisi ku yang berjudul Mama ke-1,1. Mama ke 1,1 ini benar adanya. Dialah adik dari mama ku yang juga ikut mengurusiku. Sedari kecil aku sering diurusnya, karena itu waktu pra sekolah aku seing dititipi atau sering menginap di rumah bibi ku ini. Cara pengasuhannya sangat membuatku nyaman. Bibi ku ini selalu menghargai setiap perkataan dan perbuatan si anak, tidak pernah ia melarang-larang. Jika memang tidak boleh, ia akan memberikan pengertian dengan lembut. Ketika orang tua lain akan memarahi anak yang sedang rewel, bibiku akan merangkul dan bercerita agar anak tersebut diam dan tenang. Tak hanya aku, atau anak-anaknya, tetapi tak jarang ia juga merangkul anak orang lain yang sedang rewel. Ajaibnya, dengan tangan lembutnya, anak siapa pun akan manut.
Sejak ia bercerai dengan suaminya 8 tahun lalu, bibi ku dan anak-anaknya tinggal bersama ku. Kesedihan pun melanda keluarga kami. Namun, bibi ku tak pernah mengeluh sedikit pun atas kejadian tersebut. Ia harus tegar. Hidup harus terus berjalan. Hikmah dibalik itu semua adalah hubungan kami semakin dekat. Bahkan bisa dibilang seperti sahabat. Ketika aku kurang nyaman untuk curhat kepada Mama ku, aku lebih memilih curhat kepada bibi ku. Ia akan mendengarkan dengan seksama, kemudian memberi nasihat. Tak pernah sedikitpun ia menyalahkanku. Aktifitas kami tidak hanya saling curhat tetapi juga jalan-jalan bareng, jogging bareng, senam bareng, atau aku minta antar kesini, bibi ku akan siap mengantarkan kemana saja yang aku mau.
Kedekatan ini bukan berarti aku tidak menyayangi Mama ku. Ini cuma sekedar mengisi kekosongan ketika mama aku sibuk. Hmm baiklah. Mungkin inilah yang dirasakan setiap anak yang ibunya bekerja full time. Kadang ada rasa kerinduan akan kasih sayang seorang ibu. Mama ku memberikannya, tapi mungkin ada batasnya karena ia sedang bekerja. Tetapi aku tahu, rasa sayang mama ku tiada batasnya.
Sulit memang mengungkapkan bagaimana rasa sayang terhadap ibu yang bekerja dan orang yang mengasuh kita. Pernahkah kalian lihat betapa dekatnya seorang anak terhadap pengasuhnya dibandingkan dengan ibunya? Pasti ibunya adalah seorang pekerja. Karma pasti jatuh kepada aku, karena aku adalah seorang pekerja. Suatu saat nanti ketika memiliki anak, mereka harus aku lepaskan kepada pengasuh dan mengalami apa yang aku alami. Atau mungkin lebih dari yang aku alami. Ada rasa keinginan untuk melepas pekerjaan ketika sudah memiliki buah hati, namun hidup di jaman sekarang begitu keras. Semua harus mengeluarkan biaya. Mungkin aku harus menunggu beberapa tahun dulu untuk mengatakan “resign”. Atau Allah mau memberikan petunjuk lain kepada ku.
Seperti seorang anak kecil yang diasuh oleh pengasuhnya, kemudian harus ditinggalkan pergi. Mereka pasti akan merengek dan bahkan bisa sakit-sakitan. Begitu pula dengan aku, dalam waktu dekat ini, hampir bertepatan dengan hari ibu, aku harus kehilangan bibi ku. Dia harus pergi jauh ke pulau seberang karena akan dipinang oleh juragan tebu disana. Bukannya aku tidak senang, tetapi apakah bisa tinggal di tempat yang tidak begitu jauh? Sehingga sabtu minggu aku bisa main ke rumah bibi, atau bibi bisa main ke rumah ku. Sungguh, jika mengingat itu semua, aku bisa berurai air mata, membanjiri guling yang ku peluk, tersedu-sedu mengingat kenangan yang pernah dilalui, hingga mata sembab menghiasi wajah.
Lambat laun aku harus bisa melalui ini. Semakin sedikit waktu yang akan kita lalui bersama. Apakah mungkin bibi sering main ke sini? Atau kami yang main kesana? Tapi apakah masih bisa kita berolahraga bersama? Mendengarkan curhat-curhat ku dan aku mendengar curhat-curhatmu? Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H