Mohon tunggu...
Nyaman Agung Triyatno
Nyaman Agung Triyatno Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penggemar One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presiden Melepas Partai

29 Maret 2015   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tulisan berjudul Menggugat Status Kepemimpinan Presiden Jokowi, Saya menyarankan Presiden melepas status keanggotaannya dari partai politik. Sudah pasti sisi politis menjadi perhitungan. Namun, kembali lagi, bahwa menjadi Presiden NKRI adalem menjadi milik semua WNI, pun semua partai. Partai politik hendaknya mendewasakan diri dengan kondisi ini.

Tulisan berikut mencoba membedah apa saja kiranya yang bisa dikonsolidasikan Presiden ketika memilih melepas partai pendukungnya menjadi pemimpin seluruh WNI dan golongan yang ada dalam wadah NKRI.

Gagalnya Negara

Dalam Why Nations Fail, dinyatakan bahwa kegagalan negara-negara dikarenakan teori yang berdasarkan pada elemen ketahanan suatu bangsa yang berupa: (1) posisi geografis negara, (2) kebudayaan, dan (3) ketidaktahuan elit penguasa negara itu dalam membuat kebijakan. Ketiga elemen ketahanan nasional ini selalu dipandang terpisah, parsial, dalam membedah perkembangan sebuah negara. Padahal ketiga elemen tersebut adalah sebuah satu kesatuan yang saling bahu membahu dalam upaya mempertahankan eksistensi sebuah negara.

Berdasarkan elemen ketahanan nasional di atas dapat membuat sebuah negara yang kuat dan eksis dengan menciptakan kesejahteraan pada masyarakatnya. Acemoglu dan Robinson pun merumuskannya pada hipotesis utama bahwa sebuah tatanan kenegaraan kuat akan mampu menciptakan lembaga ekonomi yang mampu memberikan insentif untuk mendorong, dan menciptakan kekayaan. Dan ini hanya dapat dicapai melalui kebebasan politik. Pada titik inilah Inklusifitas politik dan distribusi kekuasaan politik dalam suatu masyarakat adalah elemen kunci yang akan menentukan keberhasilan atau kegagalan bangsa.

Inklusifitas politik membuat elit penguasa mampu mengatur lembaga-lembaga politik dan ekonomi negara. Jika lembaga-lembaga politik yang diatur ekstraktif dan terkonsentrasi di tangan elit yang sempit, maka lembaga-lembaga ekonomi hanya akan melayani tujuan elit penguasa, penggalian kekayaan maksimum untuk diri mereka sendiri. Jika mereka diatur sebagai inklusif, daya yang tersebar di banyak tempat dan tidak terkonsentrasi pada pemimpin, maka ini akan menciptakan lingkungan kelembagaan insentif lembaga ekonomi yang inklusif, di mana inovasi dan kreatif akan memastikan terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pembangunan berjalan. Jika ini terjadi, maka masyarakat akan percaya kepada pemimpin dan tatanan kenegaraannya, ini menjadi kekuatan tersendiri hingga eksistensi ketahanan negara bisa terus ada, dipertahankan bahkan berkembang menjadi negara maju.

Terancam

Kondisi inklusifitas politik, selain membawa pengaruh baik juga membawa pengaruh buruk. Pengaruh buruk datang dari para kekuatan yang sudah bertengger mapan dan lama dalam sistem kekuasaan. Tantangan pun hadir. Tantangan pertama, ada pada kekuasaan dunia politik yang terletak di tangan partai politik. Contoh nyata adalah hak angket yang di lontarkan DPRD DKI Jakarta kepada Gubernur Ahok. Pada kasus Ahok, semua berawal dari Pemilu 2014 ketika Ahok memilih mendukung Jokowi yang berbeda pilihan dengan partai pengusungnya, Gerindra yang memajukan Prabowo. Ahok memutuskan keluar sebagai anggota partai. Usaha mengangkat Djarot S. Hidayat dari PDI-Perjuangan sebagai Wakil Gubernur dan kedatangan Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan tidak berimbas banyak terhadap dukungan hak angket DPRD DKI Jakarta. Semua anggota partai politik yang duduk di DPRD DKI Jakarta sepakat mengajukan hak angket kepada Gubernur DKI. Sementara Gubernur DKI melaporkan adanya 12 Triliun Rupiah ‘dana siluman’ yang dimasukan anggota DPRD.

Pada level nasional, bukan tidak mungkin kondisi ini menyerang presiden Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum jika gurita politik menjerat Jokowi. Lembaga Kepresidenan lebih tinggi dari kuasa partai politik, sebab ia memegang kekuasaan Negara yang memayungi seluruhWarga Negara Indonesia tanpa perlu membedakaan suku, agama, ras bahkan berdasar partai politik sekalipun. Maka dari itu, selepas Presiden menanggalkan baju kepartaiannya maka ia memiliki akses ke elemen kekuatan nasional yang ada pada sebuah Negara.

Elemen kekuatan nasional, menurut Cline (1975) ada lima, yaitu critical mass yang berupa populasi kritis dari suatu negara, terdiri dari penduduk (bukan hanya penduduk belaka, tetapi juga tergantung pada keterampilan dan pendidikan) dan wilayah. Kapasitas ekonomi, kapasitas militer, konsep tujuan dan strategi dan tekad nasional dalam mewujudkan strategi nasional.

Tiga variabel pertama adalah kuantitatif; sementara variabel kedua terakhir adalah variabel kualitatif. Ini menandakan bahwa Cline menggambarkan kekuasaan sebagai "faktor subjektif" dan menggunakan "kekuatan yang dirasakan" dalam formula. Dia menunjukkan bahwa "kekuatan nyata" adalah sesuatu yang berbeda dari "kekuasaan dirasakan". Misalnya dalam perkiraan mengenai kemampuan ekonomi, kekuatan militer dan jumlah penduduk suatu negara dalam memutuskan perang belum tentu strategi militer yang dibangun dapat langsung sesuai dilaksanakan. Misalnya strategi perang Eropa Barat untuk melawan ‘perang tanah’ mungkin tidak cocok untuk menghadapi perang gerilya di Asia Tenggara.

Pun demikian dengan Jokowi, selaku Presiden sudah pasti mengetahui bahwa kelima elemen di atas menjadi mutlak kekuatan dalam menyelenggarakan visi misi pemerintahan. Dengan potensi kekuatan kelima elemen ini, Jokowi hendaknya berani melepas mata rantai gurita politik yang partisan menuju Presiden bagi semua golongan di Indonesia.

Semoga dengan berkeliling dunia, Jokowi, selain melaksanakan tugas Negara juga menemukan inspirasi keberanian dari Presiden-Presiden yang ditemui. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun