Oleh: Nyakra Adi Bhaswara (5020221065)
Mahasiswa Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak
Setiap pagi, rutinitas sarapan kita tak pernah lepas dari butiran putih yang tampak sederhana namun menyimpan kekayaan rasa yang luar biasa. Ya, garam. Si putih mungil yang kerap kita anggap remeh ini sebenarnya menyimpan sejuta cerita tentang lautan, teknologi, dan bahkan peradaban manusia. Sebagai mahasiswa Teknik Kelautan, saya merasa terpanggil untuk mengajak Anda menyelami dunia garam yang jauh lebih dalam dan kompleks dari sekadar bumbu di meja makan kita.
Dari Ombak ke Meja Makan: Perjalanan Panjang Sebutir Garam
Pernahkah Anda membayangkan perjalanan sebutir garam dari lautan luas hingga ke piring Anda? Proses ini jauh lebih rumit dan menarik dari yang kebanyakan orang kira. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia kelautan, saya sering takjub melihat bagaimana alam dan teknologi berpadu dalam menciptakan kristal-kristal asin yang kita konsumsi sehari-hari.
Semua dimulai dari lautan yang luas. Air laut mengandung sekitar 3,5% garam terlarut, yang sebagian besar terdiri dari natrium klorida (NaCl). Namun, ekstraksi garam dari air laut bukanlah proses yang sederhana. Di Indonesia, negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, produksi garam masih didominasi oleh metode tradisional evaporasi air laut.
Bayangkan hamparan lahan pesisir yang luas, dilapisi tanah liat yang dipadatkan. Air laut dipompa atau dialirkan ke lahan ini, lalu dibiarkan menguap di bawah terik matahari tropis kita. Proses ini bisa memakan waktu berminggu-minggu, tergantung pada kondisi cuaca. Selama masa penguapan, air laut akan semakin pekat, hingga akhirnya kristal-kristal garam mulai terbentuk.