Dua hari sudah, Mbak Ning menghilang. Dua hari itu pula, aku tak beranjak dari rumah sakit menemani ibu. Suster mulai bicara tentang rupiah yang harus kubayar untuk menebus obat ibu. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk mengulur waktu. Malamnya, saat ibu tertidur pulas dan aku tengah duduk di luar menatap bulan, seseorang menghampiriku. Dari kelibas bayangnya, cara dia melangkah sampai detail gerak-geriknya, aku hafal. “Apa kabar?” sapanya kaku. Walau lama berteman, kami jarang bicara. “Baik.” jawabku. “Kapan kamu akan kembali?” “Aku tak akan kembali.” Lalu sunyi. Dia menatap langit. Tubuhnya yang tinggi menjulang menciptakan bayangan raksasa. Sampai pagi, dia tetap berdiri mematung. Menungguiku yang duduk bertopang dagu di bangku. Pagi hari, saat suster datang dan mulai bicara masalah keuangan, kudengar kabar itu. Paimin, tetanggaku yang berjualan bakso di samping rumah, menyeruak masuk dengan napas tersengal. “Mbakmu di PGD, Cah Ayu. PGD sini.” “Eh, kenapa? Ada apa dengan mbakku?” Paimin berlari, aku mengikuti. Di PGD kulihat Mbak Ning. Ususnya terburai keluar. Seprai rumah sakit yang berwarna putih berubah merah pekat. Aku menggigil. Tanganku gemetar sulit digerakkan. “Dia menjual organ tubuhnya secara ilegal. Saat kutemukan, kondisinya sudah parah. Tak tertolong lagi.” “Tak tertolong? Tidak!!!” Bagaimana bisa mbakku yang sangat tegar dan tenang bisa pergi dengan cara begitu? “Dia menitipkan ini padamu.” Paimin menyerahkan sebuah amplop coklat berisi segepok uang seratus ribuan, dengan sepucuk surat. Sulit sekali membuka surat dengan tangan gemetar. “Adikku sayang, kujual organ tubuhku demi ibu. Semoga uang ini cukup sampai ibu sembuh. Pesan terakhirku, apa pun terjadi, janganlah melacur, bekerjalah yang halal, walau untuk itu kau harus kehilangan nyawamu.” Mbakmu, Ning. Dunia terasa gelap. Tubuhku lunglai. Tulang kakiku tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku terjatuh di pelukan Rahadian….
***
Setelah pemakaman Mbak Ning, kondisi ibu turun drastis. Ibu tak mau makan. Dalam tidurnya dia selalu menyebut nama Mbak Ning. Tak pernah sedetik pun kutinggalkan ibuku. Aku menjaganya siang malam. Rahadian, entah kenapa, jadi sering menemaniku di rumah sakit. Dia terkadang membantu mencucikan baju kotorku dan baju milik ibu. Suatu malam, ibu memanggilku. Aku duduk di samping tempat tidurnya. “Nak, kembalilah bekerja. Biarlah Ibu dijaga suster. Ibu tak mau melihatmu pucat pasi begini. Ayolah, kau lanjutkan hidupmu.” “Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini menemani Ibu sampai sembuh.” “Jangan hancurkan masa depanmu, Nak. Bagaimana kalau kau dipecat dari kantor gara-gara sering alpa? Tinggalkanlah Ibu, kau butuh istirahat juga.” Aku mengangguk. Ibu begitu baik. Dengan berat, kuturuti permintaan ibu. Paginya, aku bergegas ke rumah sakit. Aku ingin memastikan ibu baik-baik saja. Sejak semalam perasaanku tak enak. Selalu kepikiran ibu. Ketika sampai di kamar ibu, kulihat ada police line. Begitu banyak orang berkumpul. Bergegas kudekati kerumunan itu. Ternyata firasatku menjadi kenyataan. Ibu yang kukasihi bunuh diri dengan selendang biru. Selendang laknat itu diikat ibu ke besi di atas tempat tidurnya. Mata ibu melotot dengan lidah terjulur kaku. Dengan perasaan hancur, kuusap air yang menganak sungai di mataku. Hatiku sakit sesakit neraka. Kuambil selendang biru yang dipegang polisi itu. Kucaci maki suster, dokter, dan semua satpam rumah sakit yang tak bisa menjaga ibuku dengan baik. Kupukul dan kutendangi tembok rumah sakit dan semua orang yang berkerumun di sana. Berharap mereka bisa merasakan sakit yang kurasa. Duniaku gelap dan suram. Air mataku kering sudah. Aku benar-benar ingin menyusul mereka ke surga.
***
Berbulan-bulan sesudah kematian ibu, di rumah hanya ada aku. Kadang aku tertawa sendiri. Menertawakan nasibku yang edan. Kuingat lagi kenangan hidupku bersama ibu dan Mbak Ning. Dulu kami sangat bahagia. Kurunut lagi di mana letak kesalahan itu. Bapak. Ambisinya akan kehormatan, uang, dan wanitalah penyebab semua ini. Andai sekarang bapak datang padaku, memohon ampun sekalipun, aku tak sudi memaafkannya. Harga kehilanganku pada ibu dan Mbak Ning terlalu mahal untuk ditukar kata maaf. Tadinya, aku berniat mengikat leherku dengan selendang atau kawat berduri. Atau aku ingin dilindas traktor berisi beban jutaan kilo. Namun setiap kali datang keinginan itu, suara Tuhan melintas. Aku adalah pelacur. Namun di saat-saat kritis itu, toh aku masih mengingat nama-Nya. Dalam sedih, aku berdialog dengannya. Kadang, aku menangis menceritakan nasibku pada-Nya. Aku memang pelacur tak tahu malu, karena masih mengingat Tuhanku. Dalam saat terberatku, Rahadian rajin merawatku. Dia menjadi dekat denganku. Hampir setiap hari, dia jambangi rumahku. Kepadanya, kuberikan kehangatan dan cinta, sesuatu yang sebelumnya belum pernah kuberikan pada lelaki mana pun di dunia ini. Karena aku sudah sebatang kara, saat dia melamar, kuterima pinangannya. Kami pun menikah secara sederhana.
***
Setahun setelah pernikahan itu, anakku lahir. Kami menyambutnya dengan sukacita. Ibu Rahadian dari Kalimantan datang. Melihat cucu pertamanya, kebahagiaan terpancar jelas dari sinar matanya. Bayiku yang lucu digendongnya. Lalu dari tas yang dibawanya dari Kalimantan, dia mengeluarkan selendang biru. Coraknya sama dengan corak selendang biru yang dipakai ibu gantung diri! Sama persis!! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H