Para warga kemudian mengibarkan bendera kuning. Mereka seketika menemukan sesuatu yang aneh di rumah Tarman setelah ia ditemukan meninggal. Sumber bau bangkai itu, yang tak lain dan tak bukan merupakan jasad istrinya yang mendingin di ruang tamu. Namun, saat para warga memindahkannya ke mobil ambulan. Bau bangkai itu tidak tercium sekalipun.
“Aneh,” ujar Haji Sarmidi. “Bau mayat ini malah wangi, kau bisa menciumnya bukan?”
“Betul, Pak. Wanginya seperti bunga mawar.”
“Apa jangan-jangan sumber bau busuk rumah Tarman bukan dari jasad istrinya? Apakah kau tahu kenapa ia bisa meninggal?”
“Seingat saya Buk Narimah sakit keras. Orang-orang tak ada yang membantunya. Tarman juga tak mempunyai uang. Jadilah ia meninggal, dan suaminya masih memikirkan biaya untuk pemakaman nanti.”
Haji Sarmidi mengelus dada, “Astagfirullah.”
“Jadi, menurut bapak sumber bau itu darimana?”
“Dari mana lagi? Sudah jelas itu bau dari neraka hati yang enggan membantu satu sama lain!” teriak Haji Sarmidi sengaja. Orang-orang di halaman rumah Tarman yang sedang asyik bergibah menoleh, mereka mencium-cium badannya sendiri. Dan segera berhambur ke toko parfum Koh Nayawi. Wajah mereka merah padam. Malu. (*)
***
Biodata Penulis.
Gagah Pranaja Sirat, telah memenangkan beberapa lomba cerpen pada masa perdana SMA-nya. Hobinya menulis serta membaca buku.