Wirnata menelan ludah.
"Ustad minta tolong sama kamu," ia memegang lengan Wirnata penuh keyakinan. "Kamu....," lanjutnya berbisik pelan. Wirnata hanya manggut-manggut, menyetujui perintah Ustad Ramunu yang terkesan memaksa.
Esoknya, Â Wirnata di sore buta kala langit mendung seperti biasanya musim hujan, mencoba mencari Nek Wiranti yang katanya mengganggu para anak-anak kecil bermain layangan. Kali ini, kinerja matanya nihil. Tak ada tanda-tanda Nek Wiranti, ia juga bertanya pada ibu-ibu yang berada di sana.
Pertigaan gang yang disusuri Wirnata saat kembali pulang, bersebelahan dengan pasar kaget di antara kali besar yang mencuat toko kue di tepi jalanan. Suara krsk-krsk-krsk gesekan kantung plastik mendekat, Wirnata berdegup. Dari belakang seayunan tangan menepuk pundak.
"Nirmala?" Wirnata menurunkan bola matanya, dua bongkah lilin berbentuk satu dan tujuh dijinjing wajah Nek Wiranti berbinar sembari menunggu jawaban.
Ah, ingin ia berkata bukan, namun ulah perintah Ustad Ramunu yang membelokkan lidahnya lantas spontan berkata, "Iya."
Ditarik lengan Wirnata hingga menginjak pekarangan rumah yang ditutupi rumput setinggi pinggang orang dewasa. Dinding berkerak dan mengeluarkan selipan sayap kelelawar. Mengantarkan bau hampa yang dihembuskan rumah kosong Nek Wiranti di belakang perkebunan pisang. Rumah yang sama sekali belum diketahui warga.
"Duduklah," Nek Wiranti merogoh-rogoh reruntuhan laci yang masih bisa dibukanya dengan lancar. Mengambil sebatang korek api, lalu ia menyulutkannya pada lilin yang kini berbentuk angka tujuh belas.
***
Sirene mengejar kawanan remaja di pinggir gedung terbengkalai yang merupakan sarang mereka membuahi gagak hitam. Sehabis pengaduan warga, adanya tawuran melukai mereka yang tak sengaja melintas. Sepucuk surat terselip di sakunya yang terguncang-guncang dibawanya lari, bersembunyi di semak belukar. Dimasukkan lengannya untuk mengambil surat tersebut, namun ia terkejut karena melihat surat itu telah jatuh di tengah jalan. Motor polisi melindasnya habis, melekatkan bunyi sirene bergaung-gaung kian menipis. Ia keluar menepis semak-semak, membidik jarinya ke arah selembaran kertas luluh lantak yang membiarkan alisnya tidak berkedip.
"Untuk Nirmala," batinnya mengikuti satu per satu kata yang ia baca.