Mengunjungi kota Jogja tanpa menyapa Malioboro layaknya sayur tanpa garam, waktu yang masih siang rasanya terlalu cepat kalau langsung ke Pantai Parangtritis, melintas Malioboro menjadi pilihan dan terjebaklah kami dalam kemacetan Malioboro, bawa kendaraan sendiri ke Malioboro sudah disarankan temanku tolong dihindari, waktu terbuang percuma oleh kemacetan bukan hanya volume kendaraan yang membludak ditambah denga nada Trans Jogja yang mogok setelah halte pertama Jalan Malioboro, menurut informasi baiknya parkir kendaraan di Benteng Vredeburg tapi sebelum sampai gerbang Benteng ada petugas parkir yang menunjukan bahwa ada tempat kosong untuk parkir disebelah Pasar Beringharjo sebrang toko Mirota batik, ternyata halu semata semua tempat penuh, kitapun mencari jalan keluar untuk meneruskan perjalanan ke Parangtritis, hari semakin merambat sore.Â
Sedikit hiburan saat macet menuju keluar kembali ke jalan Malioboro setelah mengitari area parkir tidak jelas tersebut, terlihatlah pedagang lekker, tim kami punya suara TOA 4M yaitu Ita, berteriaklah sekencang mungkin memanggi kang lekker, sampai kaget tuh pedagang, kami beli beberapa lekker sesuai dengan uang cash yang kami punya saat itu, biar pas uangnya karena tiba-tiba jalan menjadi lancar, kue lekker menyelamatkan kami dari emosi tempat parkir halu tadi, lekker yang hangat, nikmat juga garing jadi ingin beli lagi, besok jadwal ke Beringharjo wajib beli lagi.
Pantai Parangtritis
Garis lurus Gunung Merapi, Tugu Jogja, Keraton Jogja dan Pantai Parangtritis menjadi keunikan yang berbeda dengan tempat lainnya. Â Menurut catatan yang kami kejar ke pantai Parangtritis adalah sunsetnya, matahari kembali ke peraduan selalu memancarkan cahaya magis.
Banyak yang menyarankan untuk memilih pantai lain yang lebih menjanjikan dan instagramble, tapi kakakku mau ambil foto matahari terbenam dan jalur roda delman diatas pasir Parangtritis, sesuai rencana setelah keruwetan parkir di Malioboro dan perempatan Pojok Benteng yang bikin spaneng, melewati Jalan Wijilan yang terkenal dengan sentra gudegnya, sepanjang jalan penuh dengan penjual gudeg beraneka nama, sang aplikasi penunjuk arah melewati tempat yang saat pernah tinggal di Jogja terlewati untuk disambangi "Panggung Krapyak" nama bangunan bersejarah tersebut, cukup melihat dari mobil tanpa turun dan mengambil foto, cukup puas untuk saat ini.
Cuaca sepanjang jalan menuju pantai bergelayut awan manja berarak dibawah langit, matahari malu menampakan rupanya, bersembunyi dibalik mega. Sampai parkiran masih terlihat beberapa bis pariwisata baru masuk, terlihat rombongan pelajar turun dan berlarian menuju pantai dengan Bahasa yang kami semua pahami, sepertinya mereka dari daerah Jawa Barat seperti waktu di Borobudur, kami lapor dulu sama Sang Maha kuasa sebelum bermain ombak.
Debur ombak laut selatan menyapa kami, lalu Lalang delman dan kendaraan bermotor untuk dipantai juga para wisatawan lari kesana kemari menghindari ombak tapi ada juga yang nyebur bermain ombak.
Akhirnya mantai juga kita, aku dan suami tidak membuang kesempatan untuk foto-foto cakep juga cantik, adegan lompat diatas pasir pantai dengan latar debur ombak harus diambil berkali-kali sampai tercapai foto yang lumayan kompak, ada yang kompak dan bagus tapi suamiku kepotong arghhh ternyata pengambilan gambar itu penuh perjuangan.
Angin pantai menerpa wajah, matahari enggan muncul, awan kelabu pelan-pelan memenuhi langit, takut hujan turun datang lebih cepat, kami pilih untuk meninggalkan pantai sebelum sunset terekam oleh kamera, biarlah cerita lain yang tercatat di Pantai Parangtritis ini, mataharinya nanti kita cari di kota saja sekalian belanja.
 Sate Klatak Mak Adi