Terlalu sering nonton film dan membaca kisah  perjalanan, dan sampailah pada titik jenuh, lelah, kehabisan bahan tulisan, saatnya keluar dari rutinitas dengan melakukan perjalanan, menelusuri jalan yang selalu penuh misteri dan 1001 cerita penuh rasa bahagia.Â
Ayo Cinta, awalnya ingin ku kenang kembali masa-masa indah kuliah dan kerja jangka pendek di kota gudeg tercinta, tapi perjalanan itu harus disimpan terlebih dahulu karena bentrok dengan pernikahan dari keluarga suami, dan ini juga diluar kota, selain silahturahim ke keluarga sekalian jalan-jalan.
Minggu pagi yang cerah kita bersiap menuju timur, alhamdullilah perjalanan berlangsung lancar, rencana awalnya kita sarapan di Empal Gentong Krucuk tapi karena satu dan lain hal saat jam makan siang baru kita sampai di:
Empal Gentong Krucuk 1
Pertanyaan pertama yang saya lontar kan, Â apakah empal asem nya masih ada? Hahahahaha saking ngebet nya sejak dari Jakarta. Pramusaji restoran kompak menjawab, masih lengkap semua menu ada.
Alhamdullilah, langsung cari tempat duduk dan pesan menu.  Saya pesan empal asem, suami pesan empal gentong daging.  Empal asem  yang saya pesan memberikan sensasi yang berbeda, kuah bening dengan toping tomat, belimbing wuluh dan tidak ketinggalan bawang kucai yang merupakan khasnya empal gentong.  Saat diseruput segarnya kuah menjalar masuk ke aliran tubuh, rasanya ini mata langsung melek, ingin nya langsung berlari dan berlari kembali, saya memilih isinya yang campur yaitu daging dan jeroan, sebagai pecinta jeroan, sulit menemukan jeroan yang begitu empuk, disini empuknya pas, digigit tidak melawan tapi memancarkan potongan jeroan yang berbumbu.
Cabe bubuk khas empal gentong Krucuk tidak lupa kita tabur diatas semangkuk empal gentong, pedas berbeda yang dirasakan menari dalam mulut, jangan lupa juga dengan kerupuk kulitnya yang gurih nyoy nyoy, lengkap teman perang empal gentong.
Terbayar sudah penantian selama tiga tahun untuk semangkuk empal asem, terima kasih cinta. Tidak bosan untuk selalu kembali.
Kopi Juragan CirebonÂ
Tiga tahun lalu, kopi ini sempat jadi perbincangan hangat para bapak-bapak yang melipir dari keriaan acara resepsi pernikahan sahabat kami, suami berjanji akan membawa kembali kesini untuk menikmati kesempurnaan cinta dalam secangkir kopi.
Setelah makan siang penuh kebahagian, kopi akan menyempurnakannya. Â Area parkir Masjid A Â Taqwa lumayan penuh, selain yang beribadah didalam masjid, ruang serbaguna sebelah masjid dipergunakan untuk acara resepsi pernikahan, tadi sempat disambangi hujan sebelum makan di empal gentong Krucuk 1, parkiran agak sedikit becek.
Warung kopi yang berada di area kantin Masjid, tempat yang tidak terlalu besar tapi cukup menjanjikan. Oooo disini waktu itu para pria idaman pasangannya masing-masing melipir. Â Sang peramu kopi bertanya mau pesan kopi apa? Bertanya sama suami waktu itu pesan kopi apa? lupa jawabnya, wah butuh wangsit kalau begini caranya, saya lihat ada kopi Mandailing, Malabar, Papua, dan masih banyak lagi. Pilihan jatuh pada Papua Moanemani, dikaleng kopi yang terpajang didepan tertulis;
Papua Moanemani (Arabica Single Origin)
Moanemani adalah salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Papua Barat. Â Struktur tanah di Moanemani sangat subur. Â Para penduduk disana menyebut tanah nya mereka sebagai tanah hitam, karena memang tanah nya berwarna hitam, mengandung unsur hara yang sangat tinggi. Â Keunggulan Kopi Papua Moanemani ini adalah rasanya yang unik dan memiliki sensasi tersendiri ketika menikmati kopi ini.
- Region : Papua, Indonesia
- Attitude : 1500 -- 1700 m
- Varietas : Linie S, Typica
- Procesing Method : Semi Wash
Alhamdullilah tidak salah pilih, sore yang syahdu selepas hujan, ditemani Kopi Papua Moanemani panas tanpa ampas, yang tidak terambil fotonya yaitu alat saringnya dari anyaman bambu, kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Â Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, kami selalu berusaha untuk mensyukuri segala nikmatNya.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/02/51633376-10156656438414713-772549021800595456-n-5c7a4a90c112fe052c5bf009.jpg?t=o&v=770)
Sesampainya di tempat tujuan, rumah yang punya hajat sudah dipasang tenda, karung-karung berisi sayuran menumpuk di teras rumah, dan pertanyaan keluarga  pengantinnya mana? Dan jawaban kita sama, masih di Jakarta lha wong Sabtu kemarin baru nikah, hari ini masih beres-beres.Â
Dan lebih lucu lagi para tamu yang bertandang, kita berdua dikira pengantinnya, wah nih pengantin tidak terkenal ternyata, kita yang asyik menikmati suasana desa, ada pohon rambutan sedang berbuah dan diambilkan untuk dinikmati bersama kopi cap Amerika itu.
Toples-toples makanan khas daerah setempat cocok ditemani teh panas tawar atau secangkir kopi tubruk, dikiranya kita sedang menyambut tamu yang bertandang sebelum hari H, itu sudah kebiasaan di pedesaan undangan datang bukan pada hari H tapi dua hari sebelum atau satu hari sebelum, para tamu tidak disediakan makan berat cukup dengan jajan pasar buatan sendiri atau kletikan.
Makan malam
Dengan menu lodeh rebung, sayur asem biji kacang buncis, ikan asin goreng, tempe dan tahu goreng, sambal terasi, lalapan kacang panjang dan kol mentah, kerupuk teman sejiwa dalam sepiring nasi dan lauknya.
Semua menu membuat alam pikiran terbang ke kampung dimana saya dibesarkan, menu yang sering hadir dibalik pintu lemari kayu dua pintu warna coklat, belakangnya tertutup oleh ram kawat, setiap pulang sekolah, ambil nasi di atas meja lalu buka lemari untuk memilih lauk teman nasi serta tidak lupa kerupuk dalam kaleng Khong Guan.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/02/51071792-10156656871334713-8327485100639911936-n-5c7a48fcab12ae79ac29e4b5.jpg?t=o&v=770)
Rebung dari pohon bambu bitung memang paling cocok untuk diolah sebagai makanan, selain dibuat lodeh, dulu Papap makannya dicocol ke kecap. Â Sayur asem biji kacang buncis juga sudah jarang ditemukan, lebih sering kita menemukan baby buncis dimasak dengan daging cincang atau oseng buncis biasa, biji kacang buncis ini biasanya buat bibit, tapi diambil sebagian untuk disayur asem, memberi rasa yang berbeda.
Keriuhan Pagi
Pagi dibangunkan oleh keriuhan keluarga dan para tetangga yang sedang bersiap untuk acara esok hari, kitapun bangun untuk bersiap ngelencer menuju Kuningan, lari dari gotong royong, takut dikira pengantin lagi, soalnya pengantinnya belum datang juga.
Petunjuk jalan menggunakan media daring dengan tujuan tempat  bersejarah saat bangsa ini mempertahankan kemerdekaannya yaitu:
Cagar Budaya Perundingan Linggarjati
Gunung Ceremai menjulang tinggi berselimut kabut, jalan berliku dengan kontur naik turun, udara segar pegunungan terasa menjalar kedalam sukma, Â kita berjalan menuju kaki Ceremai mencari tempat bersejarah itu berada, jalanan yang mulus guna menunjang peningkatan kunjungan wisatawan dan mempermudah akses pasar guna meningkatkan ekonomi masyarakat.Â
Pohon-pohon tinggi sepanjang kiri dan kanan jalan menambah nilai berbeda dalam perjalanan ini,sampai pada suatu tempat dengan bangunan peninggalan kolonial, berada diatas jalan, mengingatkan saya akan vila-vila di puncak Bogor,
Tempat parkir terlihat beberapa bis sudah berjejer, sepertinya sudah banyak pengunjung yang hadir di waktu sepagi ini. Â Cukup mengeluarkan Rp. 2.000 untuk tiket masuk ke area Museum Linggarjati, sangat murah untuk ilmu sejarah yang harganya tidak ternilai.Â
 Di dalam museum sudah penuh dengan anak sekolah yang sedang mendengarkan penjelasan dari petugas museum mengenai sejarah Perundingan Linggarjati, ada yang sibuk menulis, mengambil gambar juga sibuk bolak-balik bertanya, sang petugas bolak-balik menjawab "tadi sudah saya bilang", lucu kan? Saya dan suami mencuri dengar sembari lihat tulisan-tulisan didinding yang menerangkan sejarah Perundingan Linggarjati juga foto-foto tokoh yang hadir saat itu. Â
Point yang penting dari perundingan ini yang diselenggarakan pada tanggal 11 -- 13 November 1946 adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh pihak Belanda walaupun baru sebatas Sumatera, Jawa dan Madura. Â Â
Semangat para tokoh Indonesia yang diwakili oleh Sutan Syahrir (ketua), A.K. Gani, Susanto Titrtoprojo dan Mohammad Roem. Â Pemerintah Belanda diwakili oleh Wim Schermerhor (ketua), H.J Van Mook, Â Max van Pool, F. De Boer. Pemerintah Inggris selaku mediator diwakili oleh Lord Killearn.
Patut diakui bahwa bangsa ini mampu untuk berdiplomasi dalam memecahkan permasalahan tanpa harus mengangkat senjata. Â Sejarah mencatat kita tidak pernah kekurangan tokoh-tokoh hebat dalam berdiplomasi.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/02/51156313-10156658920364713-4660171302936510464-n-5c7a4a9b43322f6ce1582590.jpg?t=o&v=770)
Pemandian Alam Cibulan
Ikan dewa yang selama ini kita kenal hanya lewat media, saatnya membuktikan keberadaanya dengan datang ke Pemandian Alam Cibulan, tiket masuk Rp. 17.000/orang untuk dewasa, harga yang lumayan murah sebenarnya karena ini area pemandian, kita bisa berenang dan main air sepuasnya, tapi kita berdua tidak persiapan untuk berenang, jadi hanya melihat seperti apa yang namanya Ikan Dewa, ternyata ikannya besar-besar diluar perkiraan saya selama ini.
Saya mencoba memasukan kedua kaki kedalam air, ikan hilir mudik dekat kaki, dan terlihat satu yang lumayan lebih besar daripada yang lainnya, bolak-balik dekat kaki, saya lihat matanya seperti punya bulu mata yang lentik, cantik banget kelihatannya, apakah dulu pasukan Prabu Siliwangi ada perempuan yang cantik, menurut cerita orangtua, Ikan Dewa ini pasukan Prabu Siliwangi yang dikutuk karena membangkang.Â
Apapun itu kita patut bersyukur karena Ikan Dewa ini tidak boleh diambil untuk dikonsumsi jadi kelestariannya terjaga. Â Pengunjung juga bisa berfoto dengan Ikan Dewa, disediakan ikan yang sudah sangat jinak dan ada petugas yang membantunya.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/02/51138336-10156658946689713-7013737059575660544-n-5c7a4b43aeebe16e200c65c6.jpg?t=o&v=770)
Kuambil gawai dan kutulis Hucap, muncul beberapa lokasi yang dekat dengan kami yang sedang parkir di sebuah warung sembari menikmati sepiring tahu gejrot dibawah pohon rindang yang umurnya ratusan tahun sepertinya kalau dilihat dari sangat besarnya itu pohon. Hucap Widarasari lokasi terdekat yang bisa kami tempuh dari tempat parkir Pemandian Cibulan, kitapun bersiap meninggalkan tempat ini.
Lokasi yang akan dikejar hanya berdasarkanpencarian kita lewat daring, tanpa rekomendasi siapapun, di peta terlihat tidak begitu jauh, begitu kita berjalan ternyata jauh dari perkiraan kita, melewati beberapa desa, terlihat berkali-kali melihat bangunan Kantor Kepala Desa dan Masjid yang megah, jalanan semakin jauh dan sang suara dari peta mengatakan sampai tujuan, kita bingung mana tempat makannya.
Adanya rumah yang ada warung kecil ditengah pesawahan pinggir jalan persis tanpa ada tempat parkir hanya tempat parkir di halaman warung rumah tersebut, saya turun dan bertanya dimana penjual Hucap, ada seorang ibu yang  terlihat didalam, dan menjawab bahwa betul disini jual Hucap, pertanyaan berikutnya dimana kita bisa parkir, ibu itu menunjukkan terus saja jalan nanti ada parkiran dan parkiran disitu, kita jalan terus sembari bingung, terlihat sebelah kanan jalan ada area yang cukup luas tapi didepan gerbang yang terkunci, mobil kita parkir disitu, mudah-mudahan tidak mengganggu, kita berjalan menuju warung tadi dan pesan 2 porsi Hucap.
Alhamdullilah tidak sia-sia perjalanan yang panjang, sepiring hucap yang kita nikmati cocok dilidah dan cukup mengenyangkan, yang lebih mengagetkan 2 porsi hucap, teh dalam botol plastik kemasan, kerupuk satu bungkus hanya menghabiskan Rp. 17.500,-.Â
Ditambah bonus pemandangan sawah yang hijau, menyegarkan mata yang cukup lelah dengan polusi ibukota. Â
Ibu penjual Hucap kaget saat kita jawab bahwa kita dari Cirebon, jauh amat kali ya, segininya kejar sepiring hucap makanan khas kuningan. Hucap ini sebenarnya sama dan sebangun dengan kupat tahu yapi tidak tahu kenapa kalau di Kuningan harus disebut Hu Cap ak Tahu Kecap.
Waktunya kembali ke Cirebon, terbayang sudah jalan seperti apa yang akan kita lewati, peta lewat media daring kita pergunakan sebagai alat pandu perjalanan.
Spooky area
Film yang bergenre horor sedang naik daun, tiba-tiba perjalanan menuju pulang kita masuk area kiri dan kanan jalan dirimbuni pohon besar dan kejutan pun terjadi, ratusan nisan terlihat memenuhi area dibalik pohon-pohon besar tersebut. Â Seperti tertelan mesin waktu, saya dan suami terdiam, saat area itu terlewati kita kompak bersuara, mengerikan tempat tadi, cocok untuk pengambilan gambar film horor. Tidak terbayangkan kalau lewatnya saat tengah malam tanpa ada kendaraan lain, dijamin bulu kuduk berdiri, otot-otot menegang, rasanya ingin segera terbang.
Semakin jauh berjalan semakin banyak menemukan jalan-jalan yang kadang makadam kadang mulus, kadang nanjak kadang turun, tapi jarang bersisipan dengan kendaraan lain, sempat melihat pusat perkebunan Mangga Gedong Gincu.
Bahkan ada patungnya, tapi terlihat tidak ada satupun buahnya, pantesan kemarin pesan sop buah yang kuahnya pake jus mangga gedong gincu, penjual ngomong bahwa Mangga Gedong Gincunya tidak musim, padahal biasanya tidak pernah kosong walaupun bukan musimnya. Â Wah cuaca ekstrimpun menghampiri musimnya Mangga Gedong Gincu, kecewa kita, karena sop buah favorite tidak bisa kita nikmati.
Setu Sedong
Suami merasa bahwa kita salah pilih jalan, karena semakin jauh dari tempat tujuan. Â Sepertinya tadi salah belok, tapi selalu ada cerita berbeda saat kita kesasar, kita tiba di pinggir Setu Sedong. Â Tempat ini diluar rencana kunjungan tepatnya terlewati, destinasi wisata hasil dari salah jalan, sebenarnya jalan menuju sini terlewati setiap berkunjung ke keluarga suami di Cirebon yang berbatasan dengan Kuningan, kalau bukan dengan cara begini kita tidak akan secepat ini melihat tempat indah yang masih jarang dikenalkan pada khalayak banyak, terlihat ada beberapa wisata air, seperti bebek kayuh, sayang mendung mulai menggelayut, hujan rintik-rintik terlihat dikaca depan mobil, menikmati Setu Sedong dari dalam mobil. Perjalanan diteruskan sampailah pada jalan raya menuju rumah tempat kita menginap, akhirnya sampai juga.
Makan malam
Lelah setelah ngelencer seputaran Kuningan, tiba-tiba dicari untuk segera makan malam, dengan menu ; Oseng-oseng daging kambing, sambal tomat, sambal goreng kentang, telor dadar, ikan asin goreng, pencok kacang panjang dan kerupuk.
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/02/51284426-10156660684614713-3101963636168458240-n-5c7a4af643322f769051be8f.jpg?t=o&v=770)
Oseng-oseng daging kambing yang empuk dengan nasi hangat, juara pemirsa, ehh teryata ada menu menyusul yaitu pencok kacang panjang, sebagai sodara sama kambing, olahan dari sayuran tidak boleh terlewati.Â
Kacang panjang yang telah menjadi kacang pendek diulek bersama ulekan bawang putih, garam, rawit, gula merah, asem jawa dan kencur, hati ini sedikit membuncah ternyata suamiku suka pencok kacang panjang, wah harus bikin nih di rumah.Â
 Perjalanan penuh cinta dan cerita. Terima kasih semua atas jamuannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI